Mewartacom, Makassar- Setiap orang pastinya memiliki rasa malu terhadap dirinya sendiri, namun rasa malu bisa kalian tempatkan pada tempatnya yah. Karena sejatinya seseorang juga tidak selamanya untuk merasa malu dengan hal-hal tertentu. Dan jika kalian hanya akan merasa malu yang terus-menerus maka itu juga tidak bisa membuat kalian berkembang atau mencapai apa yang kalian inginkan, karena
Seorang muslim yang hakiki hendaknya memperhatikan sifat-sifat yang ada pada dirinya, jika sifat yang ada pada dirinya itu dipuji oleh agama Islam maka hendaknya ia menjaga dan memeliharanya. Sebaliknya jika sifat itu dibenci dan dilarang oleh Islam, maka hendaknya ia menghilangkan dan menjauhkan diri darinya. Diantara sifat yang hendaknya dimilki oleh seorang muslim adalah rasa malu. Lalu apa urgensi dari rasa malu tersebut? Bagaimana hakikatnya? Pada edisi ini akan kita paparkan sekilas tentang rasa malu tersebut. Semoga artikel singkat ini dapat kita ambil manfaatnya. Selamat membaca! Urgensi Rasa Malu Rasa malu merupakan akhlak Islami yang sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang muslim. Di bawah ini adalah beberapa hal yang menunjukkan akan pentingnya rasa malu Rasa malu Cabang dari keimanan اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ. “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr no. 2800. Hadits di atas merupakan bukti bahwa rasa malu itu sangat penting karena ia merupakan cabang dari keimanan. Seorang yang sangat sedikit rasa malunya maka dipertanyakan kwalitas keimanannaya karena seorang tanpa rasa malu akan berbuat sesuka hati. Nabi pernah bersabda yang artinya “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” HR. Bukhâri no. 3483, 3484, 6120 Rasa Malu Akan Senantiasa Mendatangkan Kebaikan Dengan rasa malu seseorang akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Ia akan berfikir terlbih dahulu sebelum berbuat. Ia khawatir perbuatannya itu akan mempermalukannya. Mak ia akan lebih menjaga diri dari berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa rasa malu akan senantiasa mendatangkan kebaikan. Nabi bersabda اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” Muttafaq alaihi 2. Nabi Muhammad adalah seorang Pemalu Nabi kita Muhammad memang sosok yang memiliki akhlak yang terpuji dan pantas untuk dicontoh oleh umat manusia. Salah satu di antara sifat terpuji beliau adalah adanya rasa malu yang sangat pada diri beliau. Allah berfirman, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya, tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu menerangkan yang benar”. QS. al-Ahzâb 53. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا. “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.” no. 6119 iii. Rasa malu adalah ciri khusus manusia Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata, وخلق الحياء أفضل الأخلاق وأجلها وأعظمها قدراً وأكثرها نفعاً، بل هو خاصية الإنسانية، فمن لا حياء فيه ليس معه من الإنسانية إلا اللحم والدم وصورتهما الظاهرة. Yang artinya “Akhlak malu adalah salah satu akhlak yang paling utama, paling tinggi, paling agung, dan paling banyak manfaatnya. Malu adalah karakter khusus manusia. Artinya, siapa yang tak punya malu maka tak tersisa sisi kemanusiaannya selain daging, darah, dan raganya. Lihat Miftah Daaris Sa’adah hlm. 277 Rasa Malu yang Dilarang Ada jenis rasa malu yang dilarang oleh syari’at. Di antara contohnya adalah malu menampakan keislaman. Dalam hal ini Allah memberikan predikat baik untuk para da’i yang menyampaikan kebenaran tanpa ada rasa malu untuk menampakkan keislamannya. Allah berfirman yang artinya “Dan siapakah yang lebih baik perkataanya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang muslim” QS. Al-Fushilat 33. Rasa malu lainnya yang dilarang dalam Islam adalah malu dalam menuntut ilmu agama Islam. Tidak jarang kita jumpai di muhadhoroh, seminar Islami atau yang lainnya banyak orang yang hendak bertanya tapi ia malu. Akhirnya rasa malu tersebutlah yang menghalanginya dari mendapatkan ilmu. Sungguh benar perkataan seorang ulama’ لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ Yang artinya “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu” Hakikat Rasa Malu Kepada Allah Rasa malu kepada Allah yang hakiki adalah malu untuk melanggar perintah dan larangan Allah, malu untuk bermaksiat, malu karena tidak menunaikan kewajiban. Bukan malu yang dilarang sebagaimana disebutkan di atas. Nabi bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Malulah kalian terhadap Allah dengan malu yang sebenarnya”. Para sahabat berkata Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sungguh kami merasa malu kepada-Nya, alhamdulillah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Bukan itu maksudnya, akan tetapi merasa malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya adalah dengan menjaga kepala dan anggota badan yang ada padanya dari perbuatan maksiat, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengannya dari perkara yang haram, dan selalu mengingat kematian dan kehancuran tubuh dalam kubur, barangsiapa yang menginginkan balasan kebaikan di akhirat maka dia akan meninggalkan perhiasan dunia, maka siapa yang melakukan itu semua berarti dia telah merasa malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya” Hr. Tirmidzi dan Ahmad. Dihasankan oleh Albani dalam Shohihul Jami’ No 935 Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa rasa malu memang penting dan rasa malu kepada Allah jauh lebih penting. Dan hakikat rasa malu kepada Allah tersebut adalah malu untuk brbuat maksiat dan malu karena telah meninggalkan kewajiban. Allahu a’lam. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Dan juga menjadi amal jariyah sang penulis. Amin yaa mujiibas saailin.
Rasamalu erat kaitannya dengan akal dan nafsu. Manusia memiliki keduanya yang memang harus dikendalikan agar berjalan sesuai dengan tempatnya. Nafsu yang menjadikan manusia memiliki hasrat, akal yang mengendalikan agar tidak keluar batas. Nafsu manusia mengatakan makan, akal manusia mengatakan berhenti ketika kenyang.
Malu adalah sifat yang sangat terpuji dan amat dianjurkan dalam kehidupan sosial. Rasa malu adalah salah satu tanda kebersihan hati dan kesehatan jiwa seseorang. Jika Anda melihat seseorang yang merasa tidak enak untuk melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan, maka ketahuilah bahwa itu tanda kebaikan dalam dirinya. Sebaliknya, jika ada orang yang tidak pernah merasa segan mengucapkan kata-kata yang tidak layak, atau tidak merasa sungkan melakukan hal yang tidak semestinya, maka ketahuilah bahwa sebagian kebaikan dalam dirinya telah hilang. Karena malu bagian dari iman, makin baik iman seseorang, makin rasa malunya dia jaga. Rasul bersabda الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ Sifat malu sebagian dari iman al-Bukhari, al-Nasai, Abu Daud Tidak heran, rasa malu ini menjadi sifat agung yang membedakan jati diri seorang muslim dengan penganut agama lain. Nabi Muhammad bersabda لِكُلِّ دِينٍ خُلُقٌ وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ Setiap agama memiliki akhlak khusus yang membedakan dirinya dari yang lain, dan akhlak Islam adalah malu. Malik Malu adalah akhlak yang mencerminkan keagungan. Lihatlah sejarah, pemilik sifat mulia ini hanya orang mulia seperti Nabi Muhammad dan Utsman bin Affan. Malu adalah moral yang selalu mendatangkan kebaikan, ketenangan dan ketentraman sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, nomer hadits 5652. Dengan rasa malu, seseorang akan menjaga dirinya tetap di atas koridor agama dan masyarakat. Dengan itu, dia tidak akan berbuat segala sesuat seenaknya. Rasul bersabda إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ Berbuatlah sesukamu, jika tidak merasa malu. Ahmad B. Bahaya Hilangnya Rasa Malu Bahkan, hilangnya rasa malu adalah tanda kehancuran seseorang dan kemurkaan Allah pada dirinya. Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi ﷺ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا Saat hendak menghancurkan seseorang, Allah cabut rasa malu dari dalam dirinya. Dengan itu ia menjadi orang yang dibenci. Ibnu Majah Bagaimana seseorang itu tidak hancur saat rasa malunya telah hilang, sementara ia tidak segan melakukan maksiat di depan keluarga dan masyarakatnya. Bukanya bertaubat, orang itu malah membanggakan maksiatnya. Silakan baca juga artikel terkait Dosa Lisan akibat hilangnya rasa malu. كلّ أمّتي معافى إلّا المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعمل الرّجل باللّيل عملا، ثمّ يصبح وقد ستره اللّه Setiap umatku Muhammad akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin. Termasuk mujahirin adalah orang yang berbuat dosa pada malam hari, kemudian pagi hari dia menceritakannya pada orang lain, padahal Allah telah menutupi maksiatnya. al-Bukhari Lebih jauh lagi, ia akan merasa bahwa maksiatnya adalah perbuatan lumrah dalam masyarakat. Pada akhirnya, yang haram dijadikannya halal, yang halal dijadikan haram. Padahal dosa menghalalkan zina lebih besar dari berzina. Menghalalkan judi, lebih besar dosanya dari berjudi itu sendiri. Allah berfirman وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ “Janganlah kamu mengatakan hal dusta, Ini halal, ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan tentang Allah. Sungguh tidak akan beruntung, orang-orang yang mengada-adakan kebohongan tentang Allah.” an-Nahl 116 Mengatakan “ini halal” dan “ini haram” tanpa ilmu, sama saja menciptakan tandingan bagi Allah, seolah-olah dia bisa menentukan syariat, dan syariat Allah tidak mutlak. Ini dosa besar. C. 3 Macam Sifat Malu Imam Mawardy dalam kitab “Adab al-Dunia wa al-Din” mengatakan bahwa malu itu dibagi dalam 3 tingkatan Pertama, malu kepada Allah. Pada tingkatan ini seseorang akan mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangnnya. Ia malu karena iman kepada Allah yang Maha Melihat lagi Mengetahui jika ia melakukan dosa maksiat. Ia malu jika tidak beribadah, karena Allah Maha Penyarang telah memberikannya banyak kesempatan hidup dan nikmat. Kedua, malu kepada sesama manusia. Malu ini diaplikasikan dengan menghargai orang lain dan tidak saling menyakiti serta tidak melakukan hal yang tidak seharusnya diperbuat di hadapan orang lain. Sahabat Rasul, Hudzaifah Ibnu Yaman berkata, لاَ خَيْرَ فِيمَنْ لاَ يَسْتَحِي مِنْ النَّاسِ Tidak ada kebaikan bagi siapa yang tidak punya rasa malu kepada sesama manusia. Ketiga, malu kepada diri sendiri. Artinya, seseorang menjaga diri dari sifat-sifat tercela yang tidak kita lakukan karena malu dilihat orang. Maka saat sendirian, ia malu melakukannya. Ia malu untuk menilai buruk orang lain, karena dia tidak merasa lebih baik dari orang lain. D. Kapan Harus Malu dan Kapan Tidak Boleh Malu Rasa malu adalah fitrah, sifat yang telah ada sejak manusia dilahirkan. Maka, kita harus memahami dengan benar arti dan wilayah rasa malu itu. Kita bisa katakan, rasa malu itu diterapkan di dalam koridor hal-hal yang dilarang agama. Implikasinya, tidak ada malu dalam kebaikan, tidak ada malu untuk mengungkapkan kebenaran, tidak ada malu untuk menampilkan sifat terpuji dan tidak ada malu untuk menunjukkan jati diri sebagai seorang muslim. و اشهد بأنا مسلمون Saksikanlah! Kami adalah orang-orang Islam Ali Imran 52, 64 dan al-Maidah 111 Sekali lagi, dalam Islam rasa malu, iman dan amal baik sangat erat hubungannya. Saat seorang benar-benar beriman, ia akan merasa malu berbuat dosa, saat itu dia berkomitmen untuk menjaga diri dan kehormatan agamanya karena dia sendiri telah berikrar bahwa dirinya seorang muslim orang yang ber-Islam. Malu pada tempatnya akan membawa kita kepada kesuksesan dan kemuliaan, الحياء في شيء إلا زانه Tidaklah malu itu masuk ke dalam sesuatu, kecuali ia akan menghiasi hal tersebut. Sedangkan malu yang tidak pada tempatnya akan menghambat kita untuk terus maju dan berkembang dan berprestasi. Kita telah bersepakat, tidak boleh ada rasa malu dalam kebaikan dan kebenaran. Allah berfirman والله لا يستحيي من الحق … Allah tidak malu menerangkan kebenaran … al-Ahzab 53 Allah tidak merasa malu menyatakan kebenaran bukan karena Allah tidak punya malu, tapi karena kebenaran memang harus disampaikan. Bukti Allah punya rasa malu adalah hadits Nabi dalam Bulughul Maram yang berbunyi إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا Rabb-mu, Allah Ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia, sungguh Dia malu menolak hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya berdoa. 1. Malu Dalam Belajar Diantara malu yang dilarang dalam Islam ialah malu menutut ilmu. Imam Mujahid berkata, لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Ibunda kita Aisyah Radhiyallahu aanha pernah memuji sifat para wanita Anshar, نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ Wanita terbaik adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama. al-Bukhari Inilah kaidah mengapa Islam adalah agama pertama yang menuntut dan mendorong para wanita untuk berpendidikan. Karena bagi Islam, wanita ada sekolah pertama bagi anak-anak. Termasuk bagian dari menutut ilmu adalah bertanya dan mengajukan pertanyaan. Karena malu bertanya, sesat di jalan. 2. Malu Melamar Islam punya konsep menarik tentang pernikahan. Konsep ini tentu agak tabu dilakukan zaman sekarang. Ini juga tips untuk akhwat yang ingin segera menikah, “lamarlah pria idaman saudari”. Ya, Islam tidak melarang wanita untuk purpose kepada pria. Karena nikah adalah ibadah, langkah menuju akad juga ibadah. Islam membolehkan para wanita mengajukan lamaran pada pria. Ini sudah dilakukan Khadijah binti Khuwailid, istri Rasul dan beberapa shahabiyah, sebagaimana yang tertulis dalam al-Bukhari No. 2144 dan Ibnu Majah 1991. Islam tidak melarang jatuh cinta, yang dilarang adalah dosa yang dilakukan atas nama cinta. 3. Malu Yang Dilarang Setelah memahami semua dalil di atas, secara umum rasa malu dalam Islam adalah akhlak yang terpuji. Namun, ada juga malu yang dilarang dalam Islam, tentu saja yang bertentangan atau menghambat perbuatan-perbuatan baik yang telah kami jelaskan di atas, seperti; Malu belajar. Apapun alasannya, miskin, hidung pesek atau kekurangan pada fisik, tetap harus menuntut ilmu. Orang tua yang memiliki anak cacat fisik pun tidak boleh minder. Justru wali murid harus mendukung penuh pendidikan. Fisik boleh cacat, tapi siapa tahu otaknya cemerlang, cerdas, dan banyak membawa manfaat. Malu bekerja. Islam mendorong setiap pemeluknya untuk memiliki penghasilan, karena Islam mengharamkan perbuatan mengemis. Islam mencintai orang mandiri. Malu bekerja karena profesinya kurang keren, — kuli atau tukang sapu, contoh — adalah perbutan tercela. Karena yang tepenting dalam bekerja adalah proses mencari rezeki dengan cara halal, bukan besaran gaji atau penghasilan. Dalam hal ini, seorang muslim dilarang malu.
Biarkansaja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman. "Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya," tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, "maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya." Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, "Dapat
Mengapa seseorang bisa memiliki sifat pemalu? Penyebab munculnya sifat pemalu masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Thalia Eley, seorang profesor genetika perilaku perkembangan dari King’s College London, percaya bahwa rasa malu sebagai temperamen, dan temperamen adalah bagian dari kepribadian. Dilansir oleh BBC, Eley mengungkapkan bahwa sifat pemalu hanya dipengaruhi oleh gen sebesar 30%. Sisanya didapat sebagai respons terhadap lingkungan yang lebih ia tekankan sebagai faktor munculnya sifat tersebut. Apakah menjadi pemalu adalah hal yang buruk? Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak yang masih beranggapan bahwa sifat pemalu adalah kelemahan yang harus diperbaiki. Pasalnya, orang pemalu acap kali dianggap sulit berhubungan dan bersosialisasi dengan orang lain. Anggapan tersebut memang tidak sepenuhnya salah, namun mengatakan sifat pemalu sebagai kelemahan juga tidak benar karena merupakan bentuk emosi yang sangat wajar. Justru, sifat ini bisa mendatangkan beberapa keuntungan dalam situasi dan kondisi tertentu. Orang yang memiliki sifat ini biasanya lebih sensitif akan perasaan dan emosi orang lain sehingga membuat mereka menjadi pendengar yang baik, terutama saat orang lain sedang bercerita. Selain itu, sifat dusun pemalu dalam bahasa Sunda juga mendatangkan antisipasi lebih akan sesuatu. Ini artinya, orang yang dusun diyakini memiliki kewaspadaan lebih tinggi terhadap risiko. Mereka dapat membuat sebuah keputusan dengan lebih baik jika memahami baik-baik risikonya. Sifat ini bukanlah suatu hal yang negatif selama tidak menyebabkan masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini menjadi masalah adalah ketika rasa malu sudah sangat mengganggu, atau bahkan berkembang menjadi gangguan kecemasan sosial. Gangguan kecemasan sosial dapat menimbulkan berbagai emosi negatif, seperti rasa takut dan cemas berlebihan. Pikiran negatif ini akan terus membayangi mereka lebih lama, bahkan sampai berminggu-minggu. Sementara, rasa malu biasa tidak selalu disertai dengan pikiran negatif. Gejala gangguan kecemasan sosial sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan, untuk sekadar berbicara pada kasir di toko saja penderitanya akan merasa panik dan mengalami gejala fisik yang parah. Kondisi ini yang membutuhkan perawatan medis dari dokter. Sementara orang pemalu hanya menunjukkan sifatnya pada situasi tertentu, dapat mereda sendiri dan dikendalikan, juga dapat dihilangkan dengan membangun kepercayaan diri. Apa perbedaan pemalu dan introvert? Anda mungkin berpikir, apakah mungkin orang yang pemalu dan introvert itu sama? Media sering kali mengaitkan kepribadian introvert dengan sifat malu dan takut berinteraksi sosial. Padahal, keduanya berbeda, lho. Sifat pemalu berakar dari rasa cemas akan pandangan orang lain terhadap diri sendiri. Sementara itu, introversion adalah preferensi seseorang untuk memperoleh energi, yaitu berasal dari dirinya sendiri. Orang yang introvert merasa lebih cepat terkuras energinya ketika berinteraksi dengan orang lain. Biasanya, ia akan mengisi ulang energinya dengan cara menghabiskan waktu dengan diri sendiri, seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau berjalan kaki sendirian. Sekilas, orang yang pemalu dan introvert terlihat sama karena keduanya cenderung menghindari interaksi sosial. Namun, keduanya memiliki dorongan yang berbeda. Introvert memilih untuk menghindari aktivitas sosial karena mereka lebih mudah lelah saat dikelilingi banyak orang. Mereka butuh waktu sendiri untuk mengembalikan energinya. Saat berinteraksi, tak semua introvert memiliki sifat malu. Bisa saja seorang introvert senang dan pandai bersosialisasi, namun tenaganya lebih mudah terkuras jika harus menghabiskan waktu terlalu lama dengan orang lain. Sementara itu, orang yang pada dasarnya bersifat pemalu menghindari aktivitas sosial karena mereka takut akan pandangan orang lain terhadap dirinya. Mereka cenderung mengkritik diri sendiri dan terlalu banyak berpikir overthinking.
Rasamalu berkaitan erat dengan keberadaan orang lain. Rasa bersalah berkaitan erat dengan hati nurani atau iman dalam diri sendiri. Jika kita memiliki rasa malu kepada orang lain tetapi tidak memiliki perasaan bersalah dalam diri sendiri, pastilah kita suka slintat-slintut alias berperilaku munafik. Orang dengan tipe seperti itu tentu suka membangun image yang baik di depan orang lain karena
Oleh Nashih NashrullahKecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang malu bagi perempuan adalah perhiasan, kehormatan, sekaligus jati diri yang utama. Karena, pada hakikatnya para kaum Hawa memiliki peran strategis dan krusial di tengah-tengah peradaban. Luhur tidaknya sebuah komunitas masyarakat dan bangsa turut ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesalehan para wanitanya. Dan, sejarah Islam membuktikan, kegemilangan peradaban Islam ditopang oleh akhlak dan kemuliaan para perempuan. Demikian, ujar Syekh Muhammad bin Musa as-Syarif, dalam karyanya yang berjudul Haya’ al-Mar’ah Ushamh wa Unutsah wa Zinah. Serangan bertubi-tubi dunia luar, pada intinya mencoba untuk merobohkan sedikit demi sedikit kemuliaan perempuan, termasuk memudarkan sifat malu, lewat gaya hidup, efek negatif dari keterbukaan informasi, hingga melibatkan propaganda bandingkan para perempuan di era awal, terkenal teguh menerapkan sifat malu. Lihatlah sikap yang ditunjukkan oleh putri dari Abu Bakar, yaitu Asma’. Suatu ketika, ia pernah menghindar lantaran malu bertemu segerombol sahabat dari kalangan Anshar. Rasulullah SAW pun menyarankannya agar mengambil arah hiasilah diri dengan malu. Sebab malu, kata seorang tokoh salaf, Abu Hatim al-Busti, berarti menjauhkan diri dari segala perilaku yang tak disukai. Selain itu, mengutip Ensiklopedi Fikih Kuwait al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, sifat malu itu terbagi menjadi dua. Malunya seorang hamba kepada Allah SWT bila melanggar larangan-Nya dan malu melakukan segala perkara yang tak disukai, baik perkataan atau apa urgensi sifat malu bagi perempuan? Syekh as-Syarif mengatakan malu adalah bukti kecintaan tarhadap Allah SWT dan para rasul-Nya. Dan dengan malu agama seorang Muslimah akan tetap terpelihara. Malu membentengi dirinya dari tindakan yang tercela. Dan, sebab malu itu pula, kehormatan dan keanggunan perempuan yang berhias dengan sifat malu akan terjaga sikap femininnya yang sejati. Jauh bedanya dengan wanita yang tomboi atau kasar, misalnya bahkan perempuan yang bersolek terlewat batas sekali pun. Kecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang malu juga mempertegas identitas dan jati diri seorang perempuan. Ia akan mampu menempatkan diri secara proporsional. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dari Busyair bin Ka’ab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Telah tertulis dalam takdir, sesungguhnya terdapat kemuliaan dalam sebagian sifat malu dan kedewasaan di bagian lainnya. Dan, bagi seorang istri sifat malu akan menambah kecintaan kepada suami.”Syekh as-Syarif mengakui memperteguh sifat malu bukan perkara gampang. Potret ketidakmampuan perempuan menguatkan sifat tersebut, seperti tergambar dalam beragam fenomena yang muncul di masyarakat. Tak heran didapati perempuan yang berperangai kasar, gaya berbicaranya tak patut, mengumbar konflik internal keluarga ke orang lain, berbusana tak etis dan cenderung menampakkan aurat, serta sering kali didapati sebagian oknum Muslimah merokok tanpa rasa as-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan. Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu. Ketika turun perintah berjilbab dalam surah an-Nuur, segenap sahabat perempuan bergegas menuju kamar dan menutup aurat mereka. Hanya keimanan yang mendorong hal itu terjadi. Selanjutnya, menciptakan pendidikan yang kondusif, paling tidak di level mendasar dan utama, yakni institusi keluarga. Para orang tua berkewajiban memberikan pemahaman yang memadai perihal pentingnya rasa malu bagi anak perempuan jangan lupa memberikan suri teladan yang baik. Keteladanan memancing simpati dan ketertarikan. Berapa banyak pendidikan gagal lantaran nihil keteladanan. Ingin anak-anak perempuan Anda malu, maka mulakan dan biasakan rasa malu dari diri Anda. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
Untukmerehabilitasi rasa malu yang luntur dari masyarakat modern saat ini, kita perlu mengembalikan manusia pada dua kodrat asalinya, yakni manusia sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan menutup dan membuka diri serta manusia sebagai makhluk sosial. Setelah yang pertama, malu sesuai dengan kodrat manusia, kedua adalah malu imani, yakni
Berikut ini manakah contoh sifat malu yang tepat? Pada soal, yang adalah sifat malu yang tepat ialah MALU TIDAK MENGERJAKAN PR B. Adapun malu menghadiri pengajian umum, malu diejek teman jika berhijab dan malu melaksanakan shalat berjamaah di masjid adalah contoh sikap malu yang KELIRU. Apa yang dimaksud dengan rasa malu? Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan. Agama Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifatmalu karena dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi. Kebaikan apa yang didapat dari rasa malu? Mudah Bergaul. Manfaat sifat malu pun bisa dinikmati orang sekitar kita. Ketika rasa malu tidak begitu ekstrem, itu bisa membuat seseorang terlihat lebih mudah didekati orang lain. Artinya, ini dapat menjadi daya tarik orang untuk merasa lebih nyaman ketika bergaul atau berteman. Dalam hal apa saja kita tidak boleh memiliki rasa malu? 1. Kita tidak boleh malu dalam hal kebaikan, kita seharusnya malu jika melakukan suatu keburukan. 2. Jika seseorang tidak memiliki rasa malu orang tersebut dapat melakukan apapun yg dia mau karena tidak adanya rasa malu.. Kita harus memiliki rasa malu karena malu adalah sebagian dari iman. Apa saja perilaku malu? malu bila tidak sholat. malu apabila berlaku maksiat. malu bila tidak jujur dengan lisan dan perbuatan. malu tidak berpuasa dibulan ramadhan. malu bila berkata kasar dan suka berbuat onar. Bagaimana sifat malu dalam Islam? Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW pernah menyebut bahwa malu adalah sebagai bagian dari iman. Artinya, malu merupakan salah satu budi pekerti yang dituntut oleh Islam untuk dimiliki oleh setiap pemeluknya. Apa yang dimaksud dengan rasa malu brainly? Malu merupakan suatau keadaan dimana seseorang merasa senggan atau tidak percaya diri dikarenakan seseorang tersebut melakukan perbuatan yang tidak baik, sehingga ingin ditutupinya. Jelaskan apa yang dimaksud dengan malu brainly? malu adalah akhlak perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain. Dari mana datangnya rasa malu? Rasa malu ini berasal dari rasa takut, setelah manusia jatuh ke dalam dosa maka mereka menjadi takut. Ketakutan ini bila ditelusuri bersumber dari takut mati, akibat yang harus mereka terima seperti yang telah difirmankan Allah, karena telah melanggar perintah Allah, untuk tidak memakan buah pohon itu. Apakah berperilaku malu itu penting? Mengingat sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak seseorang dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat memelihara iman seseorang. Sifat apa sifat pemalu itu? Pemalu adalah sebuah sifat atau karakteristik yang ditandai dengan kecenderungan merasa gugup, khawatir, atau canggung selama berinteraksi sosial, terutama dengan orang asing yang baru dikenal. Mengapa rasa malu itu sebagian dari iman? Di antara amalan hati yang merupakan keimanan adalah rasa malu, jika seorang manusia memiliki rasa malu maka itu adalah tanda-tanda keimanan pada dirinya. “Hal ini disebabkan karena rasa malu merupakan sebab terkuat bagi seorang hamba untuk bisa melaksanakan seluruh cabang-cabang keimanan yang lain.” Dalam hal apa saja seseorang harus memiliki rasa malu brainly? Jawaban. Jawaban Etika , kesopanan , melakukan kesalahan , tidak mengerjakan tugas , tidak disiplin . Mengapa kita tidak boleh malu dalam melakukan kebaikan? karena kita tidak perlu malu apabila kita hendak melakukan kebaikan karena yang kita lakukan bukan suatu kita dianjurkan untuk selalu melakukan kebaikan di manapun kita berada dan kapan pun. Apa dampak negatif dan bahaya yang ditimbulkan dari seseorang yang tidak memiliki rasa malu dalam kehidupan sehari hari? Dengan hilangnya rasa malu pada diri seseorang, maka akan berdampak negatif kepada orang tersebut. Dampak negatif mengakibatkan berbagai kejelekan dan keburukan terjadi seperti Terjadi banyak kemaksiatan, seperti pelecehan seksual, korupsi, berzina, mabuk-mabukan, perselingkuhan dan lain-lain. Malu dibagi menjadi berapa? Tiga Macam Rasa Malu Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat. 2. Malu kepada manusia. Jelaskan apa yang dimaksud dengan malu dan berikan contohnya? Malu adalah Akhlak/sikap yang memotivasi/mendorong seseorang untuk meninggalkan keburukan/perbuatan perbuatan tercela atau menahan diri dari segala keburukan. 2. Malu kepada diri sendiri apabila tidak memberikan hak orang lain. Apa yang dimaksud dengan budaya malu Sebutkan tiga contoh? Contoh budaya malu yaitu, malu untuk berkata bohong, malu tidak berkata sopan, malu jika tidak bertanggung jawab, malu datang terlambat kesekolah, malu membuang sampah sembarangan. References Pertanyaan Lainnya1Apa peran pengurai bagi produsen dalam rantai makanan jawaban?2Manakah sumber energi listrik yang paling besar?3Apakah yang dimaksud dengan pengertian konflik?4Bagaimana cara pembuatan patung dengan bahan plastisin?5Apa dalil naqli iman kepada rasul?6Apa isi dari teori evolusi Darwin mengapa teori tersebut dianggap kontroversial?7Apa motif batik dari daerah Solo?8Apa yang kamu ketahui tentang Spice Island?9Kamu adalah terang dunia apa maksudnya?10Apa perbedaan antara pembuluh darah?
Syekhas-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan. Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu.
MALU ADALAH AKHLAK ISLAMOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاريDari Abu Mas’ûd Uqbah bin Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”TAKHRÎJ HADÎTS Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh Al-Bukhâri no. 3483, 3484, 6120, Ahmad IV/121, 122, V/273, Abû Dâwud no. 4797, Ibnu Mâjah no. 4183, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath no. 2332, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/411, VIII/129, al-Baihaqi X/192, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3597, ath-Thayâlisi no. 655, dan Ibnu Hibbân no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân.PENJELASAN HADÎTS Pengertian Malu Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1]Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah hidup, dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa hujan, tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]Keutamaan Malu 1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq alaihi]Dalam riwayat Muslim disebutkan,اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang Malu adalah cabang keimanan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”[5]3. Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]4. Malu adalah akhlak para Malaikat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]5. Malu adalah akhlak Islam. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]6. Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat. Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]Abu Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”[10]7. Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”[11]8. Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[12]Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…”Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.[13]Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[14]Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Adalah Sosok Pribadi yang Sangat Pemalu Allah Azza wa Jalla berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya, tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu menerangkan yang benar. [al-Ahzâb/ 3353]Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”[15]Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah tabiat. Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan muktasab, sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab yang diperoleh berada pada puncak tertinggi.”[16]Makna Perintah Untuk Malu dalam Hadits Ini Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, di antaranya 1. Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ…perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[Fushilat/4140]2. Perintah tersebut mengandung arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[17]Sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]3. Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[20]Malu Itu Ada Dua Jenis 1. Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ takwa.”[22]2. Malu yang timbul karena adanya usaha. Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh mengenal Allah Azza wa Jalla dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[23]Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.”[24]Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai Malu Menurut Syari’at Islam Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.”[25]Malu yang Tercela Qâdhi Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.[27]Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”[28]Ummul Mukminin Âisyah radhiyallâhu anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”[29]Para wanita Anshâr radhiyallâhu anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang Sulaim radhiyallâhu anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi berjimâ’?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]Wanita Muslimah dan Rasa Malu Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…” [Al-Qashash/28 25]Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj bersolek, campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut dari Rasa Malu Buah dari rasa malu adalah iffah menjaga kehormatan. Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa setia/menepati janji.Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”[33]FAWÂÎD HADÎTSMalu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah dari malu adalah iffah menjaga kehormatan dan wafa’ setia.Malu adalah bagian dari iman yang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang Shallallahu alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat mempunyai sifat dari malu adalah tidak tahu malu muka tembok, ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ. “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.”[34]Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak dan Sab’ Mufrad, karya Imam Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ala Shahîh Ibni Sunnah, karya Imam Kabîr, karya Imam Shaghîr, karya Imam Auliyâ’, karya Imam Abu Nu’ wat Tarhîb, karya Imam Bâri, karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni, cet. Dârul Sâlikîn, karya Ibnul Qayyim, cet. Dârul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, karya Ibnu Hibbân Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim al-Ahâdîts al-Jâmi’ish wa Fawâid minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al- fî Dhau-il Qurânil Karîm wal Ahâdîtsi ash-Shahîhah, karya Syaikh Sâlim bin Ied Nâzhirîn Syarah Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim bin Ied al-Hilâli.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 53 [2] Madârijus Sâlikîn II/270. Lihat juga Fathul Bâri X/522 tentang definisi malu. [3] Lihat al-Haya’ fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah hal. 9. [4] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37/60, dari Shahabat Imran bin Husain. [5] Shahîh dalam al-Adâbul Mufrad no. 598, Muslim no. 35, Abû Dâwud no. 4676, an-Nasâ-i VIII/110 dan Ibnu Mâjah no. 57, dari Shahabat Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr no. 2800. [6] Shahîh Dawud no. 4012, an-Nasâ-i I/200, dan Ahmad IV/224 dari Ya’la Radhiyallahu anhu. [7] Shahîh no. 2401. [8] Shahîh Mâjah no. 4181 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/13-14 dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 940. [9] Shahîh no. 24, 6118, Muslim no. 36, Ahmad II/9, Abû Dâwud no. 4795, at-Tirmidzî no. 2516, an-Nasâ-i VIII/121, Ibnu Mâjah no. 58, dan Ibnu Hibbân no. 610 dari Ibnu Umar radhiyallâhu anhu. [10] Fathul Bâri X/522. [11] Shahîh I/22, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/223, al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb no. 3827, Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/328, no. 5741, dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3200. [12] Shahîh II/501, at-Tirmidzî no. 2009, Ibnu Hibbân no. 1929-Mawârid, al-Hâkim I/52-53 dari Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 495 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3199. [13] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/497 dan Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 179-180. Cet. I Dâr Ibni Hazm. [14] Lihat Syarh al-Arba’în hal. 83 karya Ibnu Daqîq al-Îed. [15] Shahîh no. 6119. [16] Fathul Bâri X/522. [17] Shahîh no. 110, Muslim no. 30, dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat. [18] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/498 dan Qawâ’id wa Faawâid hal. 180 [19] Fathul Bâri X/523. [20] Lihat Madârijus Sâlikîn II/270. [21] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37. [22] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/501. [23] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 181. [24] Shahîh no. 7. [25] Hasan no. 2458, Ahmad I/ 387, al-Hâkim IV/323, dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 4033. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 935. [26] Fathul Bâri X/522. [27] Lihat Qawâ’id wa Fawâid hal. 182. [28] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi dan Ibnu Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil Ilmi wa Fadhlihi I/534-535, no. 879. [29] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi secara mu’allaq. [30] Shahîh no. 130 dan Muslim no. 313. Maksud hadits ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat apabila ia mimpi jimâ’ bersetubuh lalu keluar mani. Apabila ia mimpi jima’ tetapi tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Adapun jika suami-istri jimâ’ bersetubuh keduanya wajib mandi meskipun tidak keluar mani. [31] Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah hal. 153. [32] Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 55. [33] Ibid hal. 55. [34] Shahîh no. 6096 dan Muslim no. 2990 dari Abû Hurairah .
GjNe. wcmb972zcc.pages.dev/404wcmb972zcc.pages.dev/365wcmb972zcc.pages.dev/238wcmb972zcc.pages.dev/76wcmb972zcc.pages.dev/116wcmb972zcc.pages.dev/369wcmb972zcc.pages.dev/189wcmb972zcc.pages.dev/516
berikut yang bukan urgensi memiliki rasa malu adalah