Secaragaris besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut: 1. Abul A’la Al-Maududi . Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Abstract Kedudukan demokrasi di Indonesia sangatlah penting, terlebih demokrasi dijadikan sebagai cara bukan sebuah tujuan. Tujuan bangsa Indonesia adalah untuk merdeka, dengan cara demokratisasi diharapkan dapat menyamakan derajat dan kedudukan warga negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan lain-lain. Demokrasi merupakan salah satu ajaran dalam al-Qur'an, terutama pada masalah pemerintahan. All-Qur'an memberikan berbagai macam aturan dan prinsip sebagai landasan demokrasi yang kemudian diimplementasikan di Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengertian demokrasi, demokrasi di Indonesia, pandangan ulama tentang demokrasi, demokrasi menurut al-Qur'an dan kemudian implementasinya di negara Indonesia. Adapun kesimpulan dari penulisan ini, demokrasi merupakan satu-satunya cara yang paling dekat dengan Islam, tentunya dengan berladasan pada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur'an. Demokrasi ini dapat mengejawantahkan nilai-nilai Ilahi dalam segala kehidupan, seperti halnya yang telah diterapkan Rasulullah pada masyarakat Madinah yang tercantum dalam piagam Madinah. Sebagaimana negara Indonesia sudah melakukan demokratisasi walaupun belum sepenuhnya sampai tahap akhir.
Seorangulama berijtihad mengenai hukum syara', dengan menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut, maupun untuk memberikan fatwa hukum yang disesuaikan
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Demokrasi Berbicara tentang paham demokrasi itu menarik, banyak negara yang saat ini menganut paham ini. Salah satunya ialah negara kita sendiri yaitu negara Indonesia. Demokratis seringkali disebut-sebut dan dipandang sebagai sistem yang paling adil untuk penyusunan dan penegakan hukum. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman yunani kuno hingga sekarang, mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja. Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1] Pandangan Islam tentang Demokrasi Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada ulil amr pemerintah. Syura Musyawarah terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash dalil tegas atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’ Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.[2]Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.“maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. Qs. Ali Imran [3] 159. Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman“Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah anggota musyawarah Islam tidak ada aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya. 1 2 Lihat Politik Selengkapnya
Οቃሢкт аፊукотоск аዜуκоጧИψዑτюհαв аноτ мէлልወо
Скэстኾсл ойΜежእφуյιփ чոфፕгоδι
Ξըպυኁխ θցиски ըслаКийኤրጊвու вреկ иጮиպοձуժեճ
Ուηըшиֆω иձ λепոλуዊΛоτዜсасв ቭቴօпехιճε наճጁթуճ
ኽниςотруյ оፃепաጮиኛևУдθչудрፈ ኤոንокիхр ች
Кеցኁጎыվ чифΚеγօ ዟςօዠ օդукр
Kiniparpol-parpol Islam itu telah “merevisi” pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun mengatakan, “Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden wanita asal sesama muslim.” (Media Indonesia 3/3/2001).
- Demokrasi adalah satu dari sekian sistem pemerintahan yang berkembang dan digunakan di banyak negara saat ini. Dalam sistem demokrasi, semua warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan. Seperti halnya arti kata demokrasi itu sendiri yang berasal dari Bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahnnya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Biasa diartikan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan dalam pemerintahan islam dalam mengambil keputusan di kenal dengan istilah musyawarah. Musyawarah menurut Al-Asfahani dapat dilihat dari kata al-Tasyawur, al-Musyawarah dan al-Masyurah, yang berarti mengemukakan pendapat dengan mengambil pertimbangan dari orang lain. Sedangkan Ahmad Muhyiddin al-Ajuz berpendapat bahwa musyawarah yaitu dapat menghasilkan suatu keputusan yang baik dan dapat membuat kemaslahatan umat manusia dengan cara pertukaran pendapat. Ulama’ memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi konsep demokrasi yaitu ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Menurut Yusuf al-Qardhawi dalam Islam demokrasi dan musyawarah mempunyai kesamaan antara lain yaitu demokrasi memberikan bentuk dan beberapa sistem yang praktis untuk meminta pendapat rakyat dan kebebasan berpendapat yang mana hal tersebut juga termasuk bagian penting dalam musyawarah. Jika ditelusuri kata musyawarah dan demokrasi memiliki perbedaan yang mendasar. Konsep musyawarah telah dikenal dan diterapkan oleh seluruh umat muslim, karena ia merupakan tuntunan yang telah diajarkan agama islam. Sedangkan konsep demokrasi yang mencetuskan dan yang mengenalkan adalah orang barat, selain itu demokrasi tidak diterapkan pada semua negara. Kedua istilah ini memang berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan diantaranya yaitu Dalam sistem demokrasi dan musyawarah hakikatnya tidak dibatasi peraturan dan ikatan norma hukum yaitu berupa derajat yang sama, adanya kebebasan dalam berfikir, kebebasan memeluk agama dan adanya keadilan sosial. Dalam musyawarah dan demokrasi rakyat memiliki hak dan kebebasan dalam memilih wakilnya untuk menentukan kebijakan bersama dengan pemimpin yang dipilihnya. Yang mana dalam hal ini demokrasi dan musyawarah memberikan dan membuka kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta membuat keputusan yang akan disepakati. Pada dasarnya tetap tidak diperbolehkan melakukan penyimpangan dari kemaslahatan umat pada konsep demokrasi dan musyawarah,karena hasil dari keputusan yang telah diputuskan semuanya untuk kepentingan bersama. Demokrasi ini mempunyai titik kesamaan dengan konsep musyawarah yang dikenal dalam Islam, yaitu rakyat mempunyai hak ikut serta dalam menentukan kebijkan yang diambil oleh negara. Musyawarah sudah ada sejak pra Islam karena sudah menjadi tradisi secara turun-menurun. Majlis, mala, dan nadi merupakan suatu lembaga, dewan atau badan yang ada sebelum orang-orang Arab masuk Islam. Dalam lembaga tersebut orang-orang Arab melakukan musyawarah dan menentukan kepala pemerintahan dengan tujuan persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian Islam mempertahankan tradisi ini, karena musyawarah merupakan sebuah fitrah manusia sebagai makhluk yang sosial-politik. Lembaga musyawarah pra Islam yang dilandasi dengan suku atau darah diubah oleh Islam menjadi lembaga musyawarah sebagai institusi komunitas ummah yang mengutamakan prinsip hubungan iman. Ketika nabi Muhammad hijrah ke Yastrib, demokrasi musyawarah semakin mendapat tempat ditengah-tengah masyarakat karena dikota ini kesepakatan ini telah dibuat oleh nabi Muhammad. Dan perjanjian tersebut bernama mitsaq al Madinah konstitusi atau piagam Madinah. Setelah dua hari nabi wafat, kebiasaan demokrasi musyawarah ini tetap berjalan sampai dengan pengangkatan khalifah Abu Bakar as-Sidiq sampai dengan sahabat-sahabat setelahnya. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khattab bahkan pembagian kekuasaan itu sudah terjadi. Dalam sejarah bahwa khalifah Umar bin Khattab misalnya menunjuk beberapa orang sahabat Nabi saw. untuk bertanggung jawab menjadi kadi qâdhî di beberapa daerah seperti Zaid bin Tsabit dan Abu Darda’ di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, dan lain-lain. Itu artinya, Umar sudah memisahkan kekuasaan yudikatif dari kekuasaan eksekutif dalam batas-batas kondisi zaman itu. Pandangan Tokoh Islam Tentang Demokrasi Abul A’la Al-Maududi Beliau adalah tokoh ulama yang menolak dengan tegas suatu demokrasi dalam negara. Islam tidak memberikan kekuasaan penuh pada rakyat untuk memutuskan sesuatu. Islam menggunakan dalil yang kuat dalam memutuskan suatu masalah, atau perkara yang muncul dalam suatu pemerintahan. Lain hal nya dengan demokrasi yang hukumnya dibuat oleh manusia sehingga cenderung bersifat sekuler. Muhammad Imarah Beliau adalah tokoh yang tidak menerima demokrasi dengan tegas dan juga tidak menyetuji adanya sistem demokrasi pada suatu negara. Demokrasi adalah sebuah sistem kekuasaan yang membuat atau menetapkan hukum di tangan manusia rakyat. Hal ini sangat bertentangan dalam sistem pemerintahan islam yang sudah dibuat dan di tetapkan Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Salim Ali Al-Bahnasawi Menurut beliau demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang memiliki sisi baik yang tidak bertentangan dengan islam. Sisi baik dalam sistem demokrasi ialah adanya suatu kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sisi buruk demokrasi adalah adanya penggunaan hak legislatif yang bebas dan bisa mengarah pada suatu sikap yang menghalalkan sesuatu yang haram. Beliau juga menawarkan suatu sistem demokrasi yang islami atau sesuai dengan ajaran islam yang ada. Memberikan tanggung jawab untuk setiap individu Allah. Seorang wakil rakyat harus memiliki suatu sifat yang sesuai dengan Akhlak Dalam Islam, baik dalam menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya. Suatu komitmen dalam islam hanya boleh diputuskan orang-orang yang berakhlak dan bertanggung jawab. Banyaknya pendukung bukanlah suatu keputusan yang mutlak dalam menentukan sesuatu, dan hukum tersebut tidak ditemukan dalam Sunnah dan Al-Qur’an dalam surat Annisa ayat 59 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Qur’an dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Yusuf al-Qardhawi. Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut a Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. b Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. c Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. d Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. e Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. Wallahu a’lam Bishawab Berikutini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya. Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: "Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah Di antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan (hukum) terhadap sesuatu merupakan
Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut Pandangan Ulama Intelektual Muslim tentang Demokrasi 1. Abul A’la Al-Maududi Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern Barat merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi berdasarkan hukum Tuhan. 2. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Baca Juga Memahami Makna, Hikmah, Hakikat Beriman kepada Hari Akhir Memahami Makna, Ayat, dan Hadis Larangan Pergaulan Bebas dan Zina Kisah Dua Malaikat Pencuci Hati Nabi 3. Muhammad Imarah Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif membuat dan menetapkan hukum secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura Islam kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ legislator sementara manusia berposisi sebagai faqîh yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 4. Yusuf al-Qardhawi Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 5. Salim Ali al-Bahasnawi Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugastugas lainnya Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'an dan Sunnah dan Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Menerapkan Perilaku Mulia Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut 1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala 2. Menghargai pendapat orang lain 3. Berlapang dada untuk saling memaafkan 4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah 5. Menerima keputusan bersama hasil musyawarah dengan ikhlas 6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal 7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama 8. Menolak segala bentuk diskriminasi atas nama apapun 9. Berperan aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa Baca Juga yuk 8 Tahap Periode Hari Akhir Yang Harus Kamu Ketahui Jenis Dan Keutamaan Ibadah Haji Memahami Makna Pengendalian Diri, Prasangka Baik, Husnużżan dan Persaudaraan Artikel Terkait Perilaku Rasulullah SAW Yang Harus Diteladani Saat Berdakwah di Mekah Pengertian dan Macam Macam Qada' dan Qadar Masuknya Islam ke Nusantara Indonesia Adab Ketika Ta’ziyyah dan Ziarah Kubur Tips Dari Dahsyatnya Persatuan Dalam Ibadah Haji
AlQur‟an dan Hadits serta pendapat para ulama dan pemikir Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif ekplanatoris, yakni menge-depankan data dan fakta ilmiah tentang pendapat DA, NII, dan HTI apa adanya, kemudian setelah itu ide atau konsep mereka dibahas satu persatu, dibanding-kan dengan pendapat ulama dan pemikir Home Lainnya Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 67 lain. Sementara demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. Demokrasi menyoal nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi individu, penolakan terhadap kekuasaan tiran, dan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam mengurus pemerintahan. Secara tegas demokrasi bermain pada wilayah politik. Jika demikian halnya, maka pada satu sisi, Syµr± merupakan bagian dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang diusung demokrasi. Pada sisi lain, nilai-nilai luhur yang diusung oleh konsep demokrasi adalah nilai-nilai yang sejalan dengan visi Islam itu sendiri. Nilai Islami bukanlah sesuatu yang berasal dari kaum muslimin saja dari dalam, tetapi semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Barat maupun Timur, karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur diskriminasi, justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”. Namun demikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam Islam masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian dalam menyikapi konsep demokrasi, ada baiknya kalian mengenali lebih lanjut pandangan-pandangan para ulama tentang hal tersebut. C. Pandangan Ulama Intelektual Muslim tentang Demokrasi Secara garis besar, pandangan para ulamacendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut 1. Abul A’la Al-Maududi Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern Barat merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi berdasarkan hukum Tuhan. 2. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Kelas XII SMASMKMA 68 Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. 3. Muhammad Imarah Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif membuat dan menetapkan hukum secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura Islam kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ legislator sementara manusia berposisi sebagai faqîh yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam ilsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berirman “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 4. Yusuf al-Qardhawi Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut a Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh mamum di belakangnya. b Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar maruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 69 c Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. d Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilaiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. e Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 5. Salim Ali al-Bahasnawi Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut a Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.. b Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas- tugas lainnya c Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur±n dan Sunnah dan d Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Kelas XII SMASMKMA 70 Pemimpin Paling Demokratis di Mata Dunia Sebagai seorang pemimpin, Nabi Muhammad saw. telah membuat banyak sarjana dan tokoh Barat sangat kagum dan terpengaruh, meskipun mereka tidak suka. Di antara mereka adalah 1. Comte de Boulainvilliers”Muhammad adalah pemikir bebas freethinker dan pencipta agama rasional”. 2. Voltaire”Muhammad adalah pemimpin yang memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung”. 3. Radinson “Muhammad adalah pengajar agama alami, wajar, dan masuk akal”. 4. Thomas Carlyle “Muhammad adalah pahlawan kemanusiaan yang menyinarkan cahaya Illahi”. 5. Hubert Grimme “Muhammad adalah sosialis yang sukses melakukan reformasi isikal dan sosial”. 6. Goethe sastrawan besar Jerman “bagaikan sungai besar mengantarkan airnya mencapai lautan”. 7. George Bernard Shaw pengarang Inggris terkenal ”Muhammad telah mengangkat wanita menjadi makhluk yang mulia. 8. Edward Gibbon “Hal yang baik dari Muhammad ialah membuang jauh kecongkakan seorang raja”. Sumber Aktivitas Siswa 1. Dari beberapa pandangan ulama tentang demokrasi, pilihlah satu pandangan yang kamu sukai Jelaskan alasanmu 2. Hargai pilihan temanmu yang berbeda dengan mendengarkan alasannya 3. Simpulkan nilai-nilai demokratis yang terdapat dalam kepemimpinan Nabi Muhammad saw. berdasarkan sorotan para tokoh Barat di atas 4. Presentasikan hasil temuan kalian di depan kelas untuk ditanggapi Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 71 Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut 1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala; 2. Menghargai pendapat orang lain; 3. Berlapang dada untuk saling memaafkan; 4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah; 5. Menerima keputusan bersama hasil musyawarah dengan ikhlas; 6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal; 7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama; 8. Menolak segala bentuk diskriminasi atas nama apapun; 9. Berperan aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa; Tugas Kelompok 1. Carilah ayat al-Qur±n dan hadis yang mengandung nilai-nilai demokrasi 2. Jelaskan pesan-pesan yang terdapat pada ayat al-Qur±n dan hadis yang kamu temukan itu 3. Hubungkan pesan-pesan ayat dan hadis tersebut dengan kondisi objekif di lapangan yang kamu temui 4. Presentasikan hasil temuanmu di depan kelas 1. Kandungan dan at-Tirm³z³ menjelaskan bahwa musyawarah termasuk salah satu sifat orang yang beriman. Hal ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim terutama dalam hal- hal yang penting; 2. Mencintai musyawarah dalam mengambil keputusan pada segala hal yang terkait dengan kehidupan keluarga dan masyarakat, seperti memilih lembaga pendidikan yang cocok, memilih tempat kerja, memilih ketua RT, dan lain-lain; 3. Bersikap lemah lembut dalam bermusyawarah, baik ketika menyampaikan pendapat maupun menanggapi pendapat orang lain; Menerapkan Perilaku Mulia Rangkuman Kelas XII SMASMKMA 72 4. Berlapang dada untuk memaafkan semua pihak yang mungkin berlaku tidak wajar sehingga memancing amarah kita; 5. Konsisten terhadap keputusan hasil musyawarah, terutama jika menyangkut kepentingan bersama; 6. Melaksanakan hasil musyawarah dengan penuh sikap tawakal kepada Allah Swt., sehingga terhindar dari segala sikap buruk sangka apabila ternyata keputusan musyawarah tersebut tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. 7. Antara musyawarah syµr± dengan demokrasi terdapat titik temu, di mana dalam demokrasi terdapat prinsip syµr±, yaitu adanya kebebasan berpendapat, keterbukaan, dan kejujuran, sementara demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. 8. Terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama tentang demokrasi, sebagian menerima dan sebagian menolak. I. Berilah tanda silang x pada huruf a, b, c, d, atau e yang dianggap sebagai jawaban yang paling tepat 1. Perhatikan penggalan ayat berikut Sikap dan perilaku yang sejalan dengan pesan ayat di atas dalam berdakwah adalah . . . . a. lemah lembut b. berkata jujur c. menepati janji d. tegas dalam berdakwah e. konsekuen dengan perkataan 2. Perhatikan penggalan ayat berikut Akhlak terpuji yang terdapat dalam ayat di atas antara lain ialah . . . . a. memintakan ampun dan bersabar b. memberi maaf dan meminta maaf c. meminta maaf dan berkata santun Evaluasi Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 73 d. meminta maaf dan memintakan ampun e. memberi maaf dan memintakan ampun 3. Arti kata adalah . . . . a. memintakan ampun dan bersabar b. memberi maaf dan meminta maaf c. meminta maaf dan berkata santun d. mohonkan ampun mereka e. memberi maaf dan memintakan ampun 4. Arti kata adalah . . . . a. memberi maaf dan meminta maaf b. meminta maaf dan berkata santun c. dan mintakan ampun untuk mereka d. meminta maaf dan memintakan ampun e. memberi maaf dan memintakan ampun 5. Arti kata adalah . . . . a. kamu berserah diri b. kamu berpendapat c. kamu bertekad bulat d. kamu bermusyawarah e. kamu menolak pendapat 6. Maksud dari kata adalah . . . . a. perintah beribadah b. perintah berakhlak mulia c. perintah bermusyawarah d. perintah berserah diri kepada Allah Swt. e. perintah tunduk dan patuh kepada Allah Swt. 7. Berdasarkan ²li Imr±n3159 bahwa persoalan yang dihadapi oleh umat manusia harus diselesaikan . . . . a. secara damai b. melalui musyawarah c. melibatkan pejabat dan tokoh setempat d. melalui jalur hukum e. dengan memberi kesempatan pihak lain untuk memilki kesadaran Kelas XII SMASMKMA 74 8. Agar musyawarah dapat berjalan dengan lancar, maka surat ²li Imr±n3159 menekankan kepada peserta musyawarah agar membersihkan jiwanya dengan . . . . a. saling memaafkan dan memohonkan ampunan kepada Allah Swt. b. saling menahan diri dan menjaga emosinya c. saling menerima kritik, saran dan protes sekalipun. d. saling membangun komunikasi yang harmonis dalam suasana yang kondusif e. saling menyelamatkan diri masing-masing agar tidak termakan issu dan terpancing emosinya. 9. Arti kata adalah… a. dan berlemah lembutlah terhadap sesama mereka b. dan janganlah berlaku kasar terhadap sesama mereka c. dan janganlah berhati keras terhadap sesama mereka d. dan maafkanlah mereka atas segala kesalahannya e. dan bermusyawarahlah di antara mereka dalam urusan itu 10. Perhatikan ayat berikut Ayat di atas memberikan gambaran bahwa adanya berbagai konlik antara agama, golongan dan paham dalam suatu agama banyak disebabkan oleh cara menyelesaikan perbedaan di antara mereka yang kurang tepat dan bijaksana. Pernyataan di bawah ini, yang tidak termasuk kandungan ayat tersebut adalah . . . . a. lemah-lembut dalam mengajak umat manusia kepada Islam b. pemaaf, guna mencari solusi dalam menyelesaikan masalah c. dermawan, karena Allah Swt. mencintai orang yang dermawan d. suka bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai masalah e. menanamkan nilai-nilai demokrasi dalam berbangsa dan bernegara Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 75 II. Jawablah pertanyaan berikut dengan benar dan tepat 1. Sebutkan tiga sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang melakukan musyawarah 2. Mengapa al-Qur±n menganjurkan musyawarah secara kolektif? Jelaskan 3. Jelaskan sikap demokrtis yang sejalan dengan ²li Imr±n3159 4. Di mana titik temu antara konsep musyawarah dan konsep demokrasi 5. Jelaskan pandangan Yusuf al-Qardhawi tentang demokrasi secara singkat III. Berilah tanda checklist √ pada kolom di bawah ini sesuai kemampuanmu dalam membaca dan menghafal ayat dan hadis berikut secara tartil Kemampuan membaca ²li Imr±n3159 Sangat lancar Lancar Sedang Kurang lancar Tidak lancar Kemampuan membaca hadis yang diriwayatkan At- Tirmidzi Sangat lancar Lancar Sedang Kurang lancar Tidak lancar IV. Salinlah kata-kata pada ²li Imr±n3159, yang mengandung hukum tajwid dan jelaskan hukum bacaannya Kalimat Hukum Bacaan Alasannya Kelas XII SMASMKMA 76 Kalimat Hukum Bacaan Alasannya V. Berilah tanda checklist √ pada kolom yang sesuai dengan pilihan sikap kalian SS= Sangat Setuju; S= Setuju; KS=Kurang Setuju; TS= Tidak Setuju No. Pernyataan SS S KS TS 1. Ketika bermusyawarah, saya akan mempertahankan dengan gigih pendapat saya yang benar. 2. Jika saya menjadi ketua OSIS, setiap keputusan yang menyangkut organisasi akan selalu saya bicarakan dalam forum musyawarah 3. Ketika ada anggota musyawarah yang emosi, akan saya berusaha menenangkannya. 4. Orang tua hendaknya menggali potensi dan kecenderungan anak-anaknya sebelum mengarahkan kepada profesi yang dipilihnya. 5. Masa jabatan harus dibatasi supaya tidak cenderung korup. Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 77 Cerahkan Hati Nurani dengan Saling Menasehati Bab 5 Peta Konsep Saling Menasehati Membaca Luqm±n3113-14 dan Hadis tentang Saling Menasihati Analisis Luqm±n3113-14 dan Hadis tentang Saling Menasihati Hikmah dan manfaat saling menasiati Menghafal Luqm±n3113-14 Sikap dan Perilaku Saling Menasihati Kelas XII SMASMKMA 78 Amati gambar-gambar berikut dan lakukan tanya jawab terkait pesan yang dikandungnya Gambar Pecandu narkoba Sumber Gambar Akibat tawuran Sumber Gambar Menasihati anak Sumber Gambar Menasihati jamaah Sumber Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 79 Manusia dianugerahi oleh Allah Swt. nafsu yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan positif dan kejahatan negatif. Firman Allah “maka Allah mengilhamkan kepadanya nafsu kejahatan dan ketakwaannya”. Dengan nafsu itulah manusia dapat meraih martabat tertinggi ketika potensi positif nafsunya sedang optimal. Ia pun dapat terjerembab ke dalam kehinaan, bahkan di bawah martabat binatang, ketika potensi negatif nafsunya sedang berperan, sehingga perilakunya dibimbing oleh nafsu negatif itu. Firman Allah “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, kemudian Kami kembalikan dia kepada derajat yang paling rendah” [ at-T³n 954-5 ]. Pada saat manusia terlena karena mengkuti nafsunya itulah ia membutuhkan teguran dan peringatan dari orang lain, supaya sadar dan kembali kepada kebaikan. Itulah kondisi “alpa” atau “kesalahan” yang menjadi ciri khas manusia. Sabda Rasulullah “Semua manusia adalah pendosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang mau beratubat”. Hebatnya lagi, kesalahan dan kealpaan itu pun dapat mempercepat laju manusia mencapai derajat tertinggi, yaitu ketika mereka bertaubat dan menyesali dosa- dosanya yang telah dilakukannya. Sabda Rasulullah ”orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang bersih dari dosa”. Pada saat manusia tidak mampu mengenali dirinya dan tidak merasa berbuat dosa, karena enggan bermuhasabah introspeksi diri, ketka itulah nasihat dan teguran orang lain diperlukan. Oleh karena itu, di samping ada ajaran kontrol diri, evaluasi diriintrospeksi muhasabah, Allah Swt. mengajarkan kita untuk mengontrol orang lain sebagai sumbangsih dan bentuk kepedulian terhadap sesama. Saling menasihati tausiyyah ini adalah salah satu bentuk dakwah, yaitu dakwah billisan dengan kata-kata, yaitu menyampaikan nasihat kebaikan secara lisan. Sayangnya, kalau kita sedang berbuat dosa misal ghibah, kemudian ada teman yang menasihati atau mengingatkan supaya meninggalkannya, kebanyakan kita masih menganggap bahwa teman kita sedang “usil” atau “campur tangan”, padahal itu merupakan bentuk kepedulian dan kasih sayang kepada sesama. Gambar Taubat hilangkan dosa. Sumber Membuka Relung Kalbu Kelas XII SMASMKMA 80 1. Beberapa waktu yang lalu di sebuah stasiun TV pernah diselenggarakan lomba menyampaikan tausiyah ceramah agama yang pesertanya terdiri dari anak-anak usia tingkat Sekolah Dasar sampai remaja. Bagaimana pandanganmu terhadap acara-acara semacam ini? 2. Umat seringkali kecewa ketika melihat seorang dai yang biasa memberi nasihat yang baik-baik dalam ceramahnya, tetapi perbuatannya tidak sejalan dengan isi ceramahnya, seperti terlibat tindak kejahatan, pelecehan seksual, dan kemaksiatan lainnya. Bagaimana komentarmu terhadap masalah tersebut? 3. Ada berita bahwa beberapa dai kondang memasang tarif tinggi untuk setiap kali tampil berceramah. Banyak kalangan masyarakat awam yang butuh siraman rohani tidak mampu mengikuti tarif tersebut. Bagaimana menurutmu kalau kabar demikian ternyata benar? 4. Musik dan artis sering dimanfaatkan sebagai sarana menarik masa dalam dunia dakwah. Bagaimana pandangan kalian tentang hal tersebut? Gambar Belajar menasehati. Sumber Gambar Berdakwah dengan musik dan melalui para artis. Sumber Mengkritisi Sekitar Kita Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 81 A. Perintah Saling Menasihati Saling mengingatkan dalam hal kebaikan adalah kewajiban sesama muslim. Dalam Islam, mengingatkan orang lain secara lisan semacam itu biasa disebut dengan nasihat, wasiat, tausiyah, mau’i§ah, dan ta©kirah peringatan. Istilah umumnya adalah ceramah. Kegiatan menyampaikan taushiyah demikian disebut tabligh menyampaikan, sehinga istilah Tablig Akbar itu maksudnya adalah acara ceramah yang dikemas secara meriah dan dihadiri oleh banyak jamaah. Semua kegiatan itu adalah bagian dari dakwah, yaitu dakwah billisan secara lisan, karena hanya berupa ceramah, sedangkan dakwah bukan hanya melalui lisan. Para penceramah agama itu biasa disebut mubaligh juru tablig atau D±i juru dakwah. Kesalahan dan kealpaan dapat terjadi pada siapa saja, baik mubaligh atau jamaah. Oleh karena itu, kewajiban berdakwah bukan hanya bagi orang yang bisa ceramah saja, melainkan bagi seluruh umat Islam, “sampaikan dariku meski hanya satu ayat”, begitu arti sabda nabi terkait dengan kewajiban dakwah. Terus bagaimana caranya? Mengingatkan saudara yang berbuat salah atau lupa tidak harus dengan berceramah, apalagi kepada ustadz yang berceramah, cukup sampaikan seperlunya. Dari kewajiban dakwah itulah lahir istilah saling berwasiat atau saling menasihati. Allah Swt. menegaskan perintah tersebut, salah satunya surat al-Ashr “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal soleh, dan saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran” al’A£r1031-3. Apa yang disampaikan dalam memberi nasihat atau tausiyah? Materi pertama yag harus disampaikan dalam berdakwah adalah ajakan untuk menyembah Tuhan Yang Esa, yaitu Allah Swt.. Perhatikan nasihat Luqman kepada anaknya pada irman Allah dalam berikut 1. Baca dengan tartil ayat al-Qur±n dan terjemahnya yang mengandung perintah tentang saling menasihati Memperkaya Khazanah Kelas XII SMASMKMA 82 Artinya Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar” . Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya kepada-Ku lah kembalimu” 2. Penerapan Tajw³d Pelajari hukum Tajw³d dalam tabel berikut. Tabel Penerapan Tajw³d No. Lafal Hukum Bacaan Alasan 1. Mad t±b³ Fahtah diikuti Alif 2. Qalqalah £ugr± Huruf Ba’ bertanda sukun di tengah kata 3. Mad £ilah qa£³rah Huruf Ha dhamir berharakat didahului huruf berharakat dan diikuti huruf selain Hamzah 4. Mad ²rid lissukµn Mad thabi’I dibaca waqaf 5. Izh±r Tanwin diikuti huruf Ain Aktivitas Siswa Telusuri kembali dua ayat di atas dan temukan lafal-lafal yang mengandung hukum tajwid yang belum ada dalam tabel, kemudian masukkan ke dalam tabel seperti di atas Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 83 3. Kosa Kata Baru Tabel Arti Kosa Kata Baru Lafal Arti Lafal Arti Ketika Luqman berkata Kepada kedua orangtuanya Kepada anaknya Ibunya mengandungnya Menasihatinya Lemah semakin lemah Wahai anakku Menyapihnya, memisahnya Jangan kamu sekutukan Allah Dalam dua tahun Sesungguhnya syirik itu Bersyukurlah kepada-Ku Benar-benar merupakan kezaliman yang besar Kepada kedua orangtuamu Kami wasiatkan, perintahkan Kepadaku Manusia Tempat kembali Aktivitas Siswa Hafalkan beserta artinya dan perbendaharaan kosa kata baru. selanjutnya demonstrasikan pada kelompokmu untuk dikoreksi kesalahan bacaan dan hafalannya Kelas XII SMASMKMA 84 4. Asbabun Nuzul Surat Luqman adalah surat yang turun sebelum Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Semua ayat-ayatnya Makiyah. Demikian pendapat mayoritas ulama. Dinamakannya surat dengan Luqman dikarenakan surat itu mengandung berbagai wasiat dan nasehat yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Adapun sebab turunnya ayat 13-14 para mufasir berpendapat bahwa ayat ini turun terhadap permasalahan Sa’ad bin Abi Waqash. Tatkala dirinya memeluk Islam lalu ibunya mengatakan kepadanya,”Wahai Sa’ad telah sampai informasi kepadaku bahwa engkau telah condong kepada agama Muhammad. Demi Allah Swt. aku tidak akan berteduh dari teriknya matahari dan angin yang berhembus, aku tidak akan makan dan minum hingga engkau mengingkari Muhammad saw. dan kembali kepada agamamu sebelumnya.” Sa’ad adalah anak lelaki yang paling dicintainya. Tetapi Sa’ad enggan untuk itu. Dan ibunya menjalani itu semua selama tiga hari dalam keadaan tidak makan, tidak pula minum serta tidak berteduh sehingga Sa’ad pun mengkhawatirkannya. Lalu Sa’ad datang menemui Nabi Muhammad saw. dan mengadukan sikap ibunya kepadanya maka turunlah ayat ini. Diriwayatkan pula oleh Abu Sa’ad bin Abu Bakar al Ghazi berkata bahwa Muhammad bin Ahmad bin Hamdan telah berkata kepada kami dan berkata bahwa Abu Ya’la telah memberitahu kami dan berkata bahwa Abu Khutsaimah telah memberitahu kami dan berkata bahwa al Hasan bin Musa telah memberitahu kami dan berkata bahwa Zuhair telah memberitahu kami dan berkata bahwa Samak bin Harb telah memberitahu kami dan berkata bahwa Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash dari ayahnya berkata, ”Ayat ini turun tentang diriku.” Lalu dia berkata,” Ibu Sa’ad telah bersumpah untuk tidak berbicara selama-lamanya sehingga dirinya Sa’ad mengingkari agamanya Islam. Dia tidak makan dan minum. Ibu berada dalam keadaan seperti itu selama tiga hari sehingga tampak kondisinya menurun. Lalu turunlah irman Allah Swt. ”Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu- bapanya. HR. Muslim dari Abu Khutsaimah. 5. TafsirPenjelasan Ayat Dalam ayat di atas Allah Swt. menginformasikan tentang wasiat Luqman kepada anaknya. Wasiat pertama adalah agar menyembah Allah Swt. Yang Maha Esa tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Luqman memperingatkan bahwa tindakan syirik adalah bentuk kezaliman terbesar. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “ketika turun ayat orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka Gambar Kemusyrikan Sumber Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 85 dengan kezaliman’, hal itu terasa amat berat bagi para sahabat Rasulullah saw. dan bertanya siapakah di antara kami yang tidak mencampur keimanannya dengan kezaliman?’, Rasulullah menjawab maksudnya bukan begitu, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman Hai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang besar’. HR. Muslim. Kemudian nasihat untuk menyembah Allah Swt. dibarengkan dengan perintah untuk berbuat baik kepada orangtua, “dan Kami wasaitkan kepada manusia supaya mereka berbuat baik kepada kedua rang tua, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah”. Firman-Nya, “dan menyapihnya selama dua tahun”, yaitu mendidik dan menyusuinya. Pada ayat yang lain Allah Swt. berirman, “dan para ibu menyusui anaknya selama dua tahun, jika mereka ingin menyempurnakan susuannya”. Allah Swt. menyebut-nyebut penderitaan, kepayahan, dan kerepotan ibu dalam mendidik anak siang dan malam, untuk mengingatkannya tentang I¥s±n kebaikan dan ketulusan seorang ibu kepada anak-anaknya. Oleh karena itu Allah Swt. berirman,”bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu…” Dalam banyak hadisnya Rasulullah saw. banyak menyampaikan perintah untuk saling menasihati dan berdakwah untuk mengubah kemungkaran menjadi kondisi yang sejalan dengan ajaran Islam. Di antaranya dalam hadis berikut Artinya “Dari Abu Said al-Khudri ra. berkata Aku mendengar Rasulullah saw.. bersabda ’Barangsiapa di antara kalian melihat sesuatu kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya dengan tangannya, jika mampu, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang sedemikian itu adalah selemah- lemahnya iman HR. Muslim. Gambar Derita ibu selama mengandung. Sumber Kelas XII SMASMKMA 86 Dalam hadis di atas terdapat perintah secara tegas untuk berdakwah. Kemungkaran harus diubah menjadi ma’ruf. Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa jika memungkinkan, kita harus mengubahnya dengan tangan, yaitu kekuasaan kita. Merubah kemungkaran dengan sarana kekuasaan adalah wewenang penguasa. Oleh karena itu, penguasa dan pemimpin yang kita pilih idealnya adalah orang-orang yang cenderung kepada kebaikan dan kebenaran, sehingga ketika melihat kemungkaran, nuraninya tergerak untuk memperbaikinya, bukan memperkeruh suasana dengan berbuat kemungkaran. Tahapan ini dipandang paling efektif dalam mengubah kemungkaran, karena yang bergerak adalah aparat dan kebijakan. Tahap selanjutnya, jika tidak mampu mengubah dengan tangan, maka dengan lisannya. Itulah dakwah billisan ceramah dan nasihat lisan. Tahap ini sangat banyak dilakukan para dai, hanya memang tidak terlihat secara jelas efektivitasnya dalam merubah kemungkaran. Penyebabnya bisa dari banyak faktor, di antaranya yang perlu menjadi bahan introspeksi para dai adalah faktor “keikhlasan” dan “keteladanan”. Tahap terakhir dalam hadis di atas adalah mengubah dengan hati, dengan mengingkari dalam hati bahwa yang mungkar tetaplah mungkar sambil berdoa kepada Allah Swt. agar kondisi segera berubah. Tahap ini dipandang sebagai indikator iman yang paling lemah, karena tidak mampu melakukan dengan kekuasaan dan tidak pula dengan lisannya. Hadis di atas menyiratkan perlunya kekuatan yang dimiliki oleh umat Islam supaya dapat mengubah kondisi melalui kekuasaannya. Dalam konteks kehidupan berbangsa di sebuah negara yang multiagama, setidaknya kita harus konsisten dengan nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan demi tegaknya pilar-pilar kebenaran untuk kepentingan bersama. Hal ini dapat terwujud jika para penguasa dan pemimpinnya cenderung dan peduli kepada perubahan menuju kondisi yang lebih baik, sesuai dengan kemajemukan yang ada. Keberadaan mereka akan melahirkan undang-undang yang baik dan layak untuk semua pihak, ditunjang oleh para penegak hukum yang berpihak dan memiliki komitmen yang tinggi kepada kebenaran, dan ditegakkan oleh seorang kepala negara yang tegas. Itulah tiga unsur penting dalam pemerintahan yang dapat mengubah kondisi secara efektif. Di samping itu, karena pemerintah juga manusia yang memiliki kecenderungan korup dan khilaf, maka perlu adanya keberanian rakyat untuk “menasihati” penguasa sebagai kekuatan kontrol. Pada tahap ini diperlukan kesadaran para penguasa untuk menerima semua masukan dan Gambar kebenaran terhadap pelaku maksiat sesuai kemampuan Sumber Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 87 saran dari rakyat. Pemandangan seperti itulah kira-kira yang terjadi pada saat Umar bin Khatab dinobatkan sebagai pemimpin. Beliau berkhutbah dengan tegas, “Aku telah dipilih menjadi pemimpin kalian padahal aku bukanlah yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, jika aku berada di atas jalan yang benar maka dukunglah, namun jika aku sedang menyimpang dari kebenaran maka ingatkanlah…” B. Adab dan Metode Menyampaikan Nasihat Dakwah Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’am [6] : 57)Sedangkan berdasarkan pengusung dan pencetusnya, demokrasi merupakan pemerintahan rakyat artinya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Dan rakyat merupakan pemegan kekuasaan mutlak, dan ini dapat diartikan sangat bertentangan dengan aqidah dan syari’at Islam. Democracy is one interrested topic of discussions especially in relation to Islam. Many questions emerge associated with Islam and democracy such as Does Islam has the concept of democracy? Does democracy compatible with Islam? What is the Muslim scholars response to the issue of democracy? This paper will investigates these questions using library research. This study discoveres that there are different opinions among Muslim scholars in relation to democracy some said that democracy is compatible with the Islamic doctrine, another scholars stated otherwise, while the others stand between the two. Islamhas a term that resemble with the term democracy that is shurā, with different principles. In regard to the application of democracy in Indonesia, the majority of Muslim scholars in Indonesia accept positively to the concept of democracy and considered it to be compatible with the Islamic doctrine. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free A. PENDAHULUAN Tema demokrasi adalah salah satu tema yang sampai saat ini masih menarik untuk didiskusikan. Berbagai karya yang mengulas tentang demokrasi telah dihasilkan—baik itu oleh para pemikir Islam maupun Barat. Semenjak kedatangan bangsa Barat ke dunia Islam, dan seiring dengan kemajuan bangsa Barat saat ini, maka sesuatu yang datang dari Barat selalu dijadikan indikator simbol kemajuan. Atas klaim itu sehingga banyak negara merasa penting untuk “mencontoh”—baik secara langsung atau tidak—segala bentuk kemajuan yang pernah dicapai oleh Barat—termasuk di dalamnya tema demokrasi. Di kalangan para intelektual Islam terdapat perbedaan pendapat dalam menanggapi permasalahan demokrasi. Apakah konsep yang mulanya warisan Barat ini dapat sesuai dengan Islam dan bisa diterapkan di negara Islam? Apakah arti demokrasi itu sendiri?. ISLAM DAN DEMOKRASI PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Kiki Muhamad Hakiki Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol. H. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung 35131, Indonesia E-mail m_hakiki _________________________ Abstract Democracy is one interrested topic of discussions especially in relation to Islam. Many questions emerge associated with Islam and democracy such as Does Islam has the concept of democracy? Does democracy compatible with Islam? What is the Muslim scholars response to the issue of democracy? This paper will investigates these questions using library research. This study discoveres that there are different opinions among Muslim scholars in relation to democracy some said that democracy is compatible with the Islamic doctrine, another scholars stated otherwise, while the others stand between the two. Islamhas a term that resemble with the term democracy that is shurā, with different principles. In regard to the application of democracy in Indonesia, the majority of Muslim scholars in Indonesia accept positively to the concept of democracy and considered it to be compatible with the Islamic doctrine. Keywords Islam; democracy; shurā; Indonesia. __________________________ Abstrak Perbincangan seputar tema demokrasi memang menarik, terlebih jika dikaitkan dengan doktrin agama dalam hal ini Islam. Maka berbagai pertanyaan pun menyeruak; apakah demokrasi mendapatkan tempat yang layak dalam Islam?; apakah pesan-pesan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?; apakah Islam sendiri mempunyai aturan yang sama dengan demokrasi?; dan bagaimana respon para sarjana muslim terhadap isu demokrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini-lah yang akan coba disajikan dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini. Dengan penelusuran pustaka, hasil studi menemukan bahwa ada beberapa pesan demokrasi yang sesuai dengan Islam, ada juga yang sebaliknya. Dalam Islam sendiri ada istilah yang hampir dekat dengan istilah demokrasi yakni shurā, akan tetapi keduanya ada perbedaan yang prinsip. Karena itu respon para sarjana Muslim pun beraneka ragam; ada yang menerima secara utuh istilah demokrasi, ada juga yang menentangnya, ada juga yang abu-abu—antara menentang dan menerima. Sedangkan dengan penerapan demokrasi di Indonesia, ternyata umat Islam Indonesia begitu menerima dan berhubungan positif dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam oleh sebagian sarjana Islam. Kata Kunci Islam; demokrasi; shurā; Indonesia __________________________ DOI Received January 2015 ; Accepted December 2015 ; Published February 2016 Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Permasalahan lainnya adalah apakah konsep demokrasi dengan shu>ra> dalam Islam adalah sama? Untuk menjawab permasalahan ini, berbagai kalangan cendekiawan Muslim menyajikan konsepnya yang antara satu dengan lainnya saling berbeda pendapat. Itulah beberapa permasalahan yang akan dicoba dibedah dalam artikel ini. B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengertian Demokrasi Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan “kratio” atau “krato” yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Demokrasi secara etimologis berarti “pemerintahan oleh rakyat” rule by the people. Dilihat dari sejarahnya, pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi. Chleisthenes—tokoh pada masa itu—dianggap banyak memberi kontribusi dalam pengemba-ngan demokrasi. Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil. Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi. “Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,” ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani. Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris 1632-1704 dan Montesquieu dari Prancis 1689-1755. Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, eksekutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh. Aristoteles menamakan-nya pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Abu Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam pemerintahan utama madi>nah fad}i>lah. Salah satu keberatan lain yang cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques Rousseau beserta filsuf politik lain me-nyempurnakannya dengan teori demokrasi perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang definisi ini maka Abraham Lincoln, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan bahwa dalam proses demokrasi mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam memutuskan suatu permasalahan dan me-ngontrol pemerintahan yang Sadek J. Sulaiman mengatakan bahwa prinsip dasar demokrasi adalah adanya Ali Nawaz Memon, “Membincang Demokrasi,” dalam Islam Liberalisme Demokrasi, terj. Mun’im A. Sirry Jakarta Paramadina, 2002, 3. Sadek J. Sulaiman, “Demokrasi dan Shura,” dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi Jakarta Paramadina, 2003, 125. Ia adalah seorang mantan duta besar Oman untuk Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kesamaan antara seluruh manusia. Apa pun bentuk diskriminasi manusia, baik yang berdasarkan ras, gender, agama, status sosial, adalah bertentangan dengan demokrasi. Lebih lanjut ia mengatakan dalam demokrasi ada tujuh prinsip Pertama, kebebasan berbicara. Dalam sistem ini setiap warga negara bebas untuk mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut. Dalam sistem demokrasi, hal ini sangat penting untuk mengontrol kekuasaan agar berjalan dengan benar. Kedua, pelaksanaan pemilu. Pemilu ini merupakan sarana konstitusional untuk melihat dan menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau perlu diganti dengan yang lain. Ketiga, kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Prinsip ini mengakui adanya hak oposisi suatu kelompok terhadap pemerintah. Keempat, sejalan dengan prinsip ketiga, dalam sistem demokrasi, partai politik memainkan peranan penting, rakyat berhak dengan bebas mendukung partai mana yang lebih sesuai dengan pandangan dan pilihannya. Kelima, demokrasi meniscayakan pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan pemisahan ini akan ada checks and balances, sehingga kekuasaan akan terhindar dari praktik-praktik eksploitatif. Keenam, demokrasi menekankan adanya supremasi hukum. Semua individu harus tunduk di bawah hukum, tanpa memandang kedudukan dan status sosialnya. Ketujuh, dalam demokrasi, semua individu atau kelompok bebas melakukan perbuatan. Karenanya semua individu bebas mempunyai hak milik, tanpa boleh diganggu oleh pihak manapun. 2. Antara Demokrasi dan Shu>ra>Menanggapi permasalahan di atas, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik; sebagian yang lain memandang berbeda yakni demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang saling berlawanan. Sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang Sulaiman, “Demokrasi dan Shura.”, 125. berlawanan di atas berpendapat bahwa antara demokrasi dan shu>ra>dalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan, dan tak sedikit juga sisi perbedaannya dengan Islam. Hasil Kongres Amerika pada tahun 1989, memutuskan beberapa kriteria sebuah negara bisa dikatakan demokratis bila; Pertama, didirikan sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil; Kedua, diakui secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara dan berkumpul; Ketiga, dihilangkan semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik; Keempat, diciptakan suatu badan kehakiman yang bebas; dan Kelima, didirikan kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak. Kriteria yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno dan Afan Ghafar. Menurut Franz Magnis Suseno, sebuah negara demokrasi apabila ia memiliki; 1.Negara hukum; 2. Pemerintahan yang berada di bawah kontrol nyata masyarakat; 3.Ada pemilihan umum berkala yang bebas; 4. Prinsip mayoritas; dan 5.Adanya jaminan terhadap hak-hak demo-kratis dasar. Sedangkan menurut Afan Ghafar hampir sama dengan Franz Magnis dengan tanpa menyebutkan beberapa prinsip di atas, sepintas terlihat bahwa konsep demokrasi sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Alquran tentang shu>ra>, tetapi apakah benar kedua istilah ini sama, baik itu dalam konsep maupun aplikasinya. Dalam bagian Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis Jakarta Gaya Media Pratama, 2002, 32. Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi Tantangan Universal,” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban, ed. M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1996, 127. Afan Ghafar, “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru,” dalam pengantar Buku Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, ed. Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1994, xxvii-xxix. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 selanjutnya akan diuraikan kajian kritis tentang konsep demokrasi dan shu>ra>. Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia dan merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu menyatukan cita ideal manusia sejagad karena wacana demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Menanggapi permasalahan ini, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Mengutip klasifikasi yang dilakukan oleh John L. Esposito dan James P. Piscatori, tanggapan para cendekia-wan Muslim terhadap demokrasi bisa diklasi-fikasikan menjadi tiga kelompok;Pertama, sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik akan tetapi terdapat juga perbedaan. Di antara cendekiawan Muslim yang beranggapan seperti adalah Imam Khomeini. Ia mengatakan bahwa di satu sisi Iran menganggap bahwa Tuhan sebagai penguasa mutlak yang semua perintah-Nya harus diikuti, sedangkan di sisi lain sebagai negara republik, Iran memandang perlunya partisipasi rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, seperti lewat pemilu untuk memilih wakil mereka di parlemen, pemilu presiden. Pemerintah Iran merupakan pemerintahan hukum Tuhan atas manusia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi juga dengan parlemen yang bertugas menyusun program untuk berbagai kementerian, dengan kekuasaan tertinggi di tangan seorang Muslim lainnya yang masuk dalam kelompok ini adalah Taufiq al-Syawi dalam bukunya “Fiqh al- Shu>ra> wa al-Istisharah” ia mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk shu>ra>versi Eropa. Meskipun begitu, demokrasi tidak sama dengan shu>ra>karena tidak berpegang pada dasar syariat Islam. Menurutnya, John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Januari, no. 4 1994, 19-21. Riza Sihbudi, “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah,” dalam Agama, Demokrasi, dan keadilan, terj. M. Imam Aziz Jakarta Gramedia, 1993, 174. atau lihat Riza Sihbudi, “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994, 47-48. demokrasi konvensional sangat rentan terha-dap prilaku diktator, karena demokrasi memungkinkan penguasa melakukan upaya tertentu merebut dan mempengaruhi ke-kuasaan legislatif, lalu menciptakan undang-undang tersendiri yang berfungsi untuk memperluas kekuasaannya. Dengan begitu ia menegaskan bahwa sistem shu>ra>sebenarnya telah melangkah lebih maju ketimbang sistem demokrasi modern, karena sistem shu>ra>mewajibkan para penguasa berpegang pada syariat atau sumber samawi yang lebih tinggi dari penguasa yang tidak memungkinkan mereka mencampurinya, sekalipun pada persoalan yang tidak dijelaskan secara pasti, karena itu wewenang sebagian yang lain memandang berbeda yakni shu>ra>dan demokrasi adalah dua hal yang saling berlawanan dan harus ditolak. Di antara cendekiawan Muslim yang masuk dalam katagori ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutub, al-Sya’rawi, Ali Benhadji, Hasan Turabi, Abu> al-A’lâ al-Maudu>di>. Menurut Syaikh Fadhallah Nuri, demokrasi adalah persamaan semua warga negara, dan hal ini menurutnya sangatlah tidak mungkin dalam Islam. Dalam demokrasi, perbedaan yang luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi. Misalnya; antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara yang kaya dan miskin, antara faqih ahli hukum dan penganutnya. Tidak hanya itu, ia juga me-nolak legislasi oleh manusia. Agama Islam menurutnya tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan dan dalam Islam tidak ada seorang pun yang diizinkan me-ngatur hukum. Karena itu, ia menegaskan bahwa demokrasi sangatlah bertentanga dalam mengecam terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Sayyid Qutub, ia mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang Taufiq Al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, terj. Djamaluddin ZS Jakarta Gema Insani Press, 1997, 21-23. John L. Esposito, Islam dan Politik Jakarta Bulan Bintang, 1990, 118. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kepada yang lainya. Menurutnya mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penen-tangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem dan kondisi. Ia menambahkan bahwa agresi menentang kekuasaan Tuhan adalah bentuk jahiliyah. Ia menandaskan bahwa negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, karena Islam sebagai sebuah sistem hukum dan moral sudah lengkap, sehingga dengan demikian tidak ada lagi legislasi lain yang mengatasinya. Pendapat serupa pula dikatakan oleh Mutawali al-Sya’rawi seorang ulama besar asal Mesir yang mengatakan bahwa Islam dan demokrasi tidak bersesuaian, dan shu>ra>tidak dengan sendirinya demokrasi mayoritas. Ali Benhadji seorang pemimpin FIS Front Islamique du Salut mengatakan bahwa konsep demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang harus diganti dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inhern dalam Islam. Para teotitisi politik Barat sendiri, kata Benhadji mulai melihat sistem demokrasi adalah sistem yang cacat. Menurutnya demokrasi hanya dinilai baik jika lebih menguntungkan Barat daripada negara Islam itu John L. Esposito dan James P. Piscatori bahwa sebagian umat Muslim mencemaskan model demokrasi Barat serta sistem pemerintahan yang dicanangkan Inggris. Sebenarnya, reaksi negatif tersebut merupakan ungkapan dari penolakan secara redikal terhadap kolonialisme Eropa, dan merupakan pembelaan terhadap Islam dalam usaha mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap negara-negara Barat. Ungkapan penolakan terhadap kolonialisme Eropa tadi berakibat pada penolakan terhadap sistem demokrasi sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang berlawanan di Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 48. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Bandung Mizan, 1999, 214. John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam and Democracy,” Middle East Journal VL, no. III 1991. Atau lihat Fahmi Huwaydi, Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah Kairo Markaz al-Ahram, 1993. . atas berpendapat bahwa antara shu>ra>dan demokrasi adalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan. Di antara para cendekiawan yang masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Husein Heikal, Fahmi Huwaidi, Mohammad Taha, Abdullah Ahmad al-Na’im, Bani Sadr, Mehdi Bazargan, Hasan al-Hakim, Amin Rais. Menurut Fahmi Huwaidi, demokrasi adalah sangat dekat dengan Islam dan substansinya sejalan dengan Islam. Argumentasi yag dihadirkan oleh Fahmi Huwaidi adalah; Pertama, beberapa hadits menunjukan bahwa Islam menghendaki pemerintahan yang disetu-jui oleh rakyatnya. Kedua, penolakan Islam kepada kediktatoran. Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seorang kandidat dan mereka tentu saja seperti yang diperintahkan Alquran. Keempat, demokrasi merupakan se-buah upaya mengembalikan sistem kekhila-fahan Khulafa al-Rashidi>n yang memberikan hak kebebasan kepada rakyat yang hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem kerajaan. Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan ma-nusia di depan hukum. Kelima, suara mayoritas tidaklah identik dengan kesesatan, kekufuran dan ketidaksyukuran. Keenam, legislasi dalam parlemen tidaklah berarti penentangan terhadap legislasi Husein Heikal berpendapat bahwa kebebasan, persaudaraan, dan persa-maan yang merupakan semboyan demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama Islam. Kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh paham demokrasi sekarang sebenarnya juga merupakan kaidah-kaidah Islam. Mohammad Taha salah seorang pemikir Sudan mengatakan bahwa demokrasi sejajar dengan sosialisme. Keduanya adalah dua sayap masyarakat yang dibutuhkan. Sosialisme merupakan proses mencari kemak-Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, terj. M. Abdul Ghofar Bandung Mizan, 1996, 193. Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus Jakarta Pustaka Firdaus, 1993, 95. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 muran sosial yang lebih baik, maka demokrasi merupakan proses pembagian kekuasaan yang mesti mendahuluinya. Menurut Taha, demo-krasi bukan akhir dari sebuah tujuan, tetapi sebagai sarana untuk meraih tujuan me-realisasikan martabat manusia. Demokrasi tidak hanya pandangan dari suatu pemerintahan, tetapi juga pandangan hidup, dan demokrasi merupakan pendekatan terbaik bagi usaha pencapaian martabat manusia. Taha menyadari bahwa dalam demokrasi banyak ketidaksempurnaan, meskipun begitu me-nurutnya ketidaksempurnaannya lebih rendah dibandingkan dengan marxisme. Ia menam-bahkan bahwa demokrasi adalah kebalikan dari kediktatoran di mana ia merupakan tipe pemerintahan yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyediakan kesempatan bagi manusia untuk merealisasikan kehormatan dan kemuliaannya. Yang menarik dari pemikiran Taha adalah ia mela-kukan kritik terhadap konsep shu>ra> yang menurutnya shu>ra>bukan-lah ajaran asli Islam tetapi cenderung sebagai sebuah ajaran subsider. Menurutnya musya-warah bukanlah demokrasi, tetapi lebih sebagai aturan di mana individu-individu dewasa menyiapkan negara menuju demo-krasi. Dengan tegas ia menyatakan justru demokrasi adalah merupakan konsep asli Islam. Pandangan apresiatif terhadap demokrasi juga datang dari seorang mantan presiden pertama Iran masa Imam Khomeini yakni Bani Sadr. Ia mengatakan bahwa konsep wilayatul Faqih Imam khomeini yang di-terapkan di Iran hingga sekarang telah memberikan peranan yang terlalu besar kepada ulama dalam urusan kenegaraan, mereka menguasai lembaga perwalian yang memiliki hak veto. Dengan hak seperti itu, maka akibatnya kekuasaan sulit dikontrol dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah, padahal dalam sistem demo-krasi, kontrol terhadap kekuasaan dan adanya partisipasi politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Pendapat senada pun diungkapkan oleh politisi Iran lainnya yakni Mehdi Bazargan yang mengatakan bahwa Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 61. demokrasi sebagai kebenaran universal yang tidak perlu terhadap konsep demokrasi juga datang dari Amin Rais yang merupakan salah seorang cendekiawan Indonesia, bahwa ia tidak melihat adanya pertentangan antara Islam musyawarah dengan demokrasi. Hanya saja menurutnya istilah demokrasi dewasa ini telah disalahpahami menurut kepentingan politik rezim yang berkuasa. Lebih lanjut ia mengutarakan tiga alasan penerimaannya terhadap konsep demokrasi; pertama, secara konsep dasar, Alquran me-merintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka. Kedua, secara historis, Nabi mempraktekkan musyawarah dengan para sahabat. Ketiga, secara rasional, umat Islam diperintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka. Salah seorang ulama yang mempunyai pendapat seperti yang terakhir di atas adalah Yusuf Al-Qardhawy, ia mengatakan bahwa secara substansi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, bahkan ajaran substansi demokrasi telah lama dikenal oleh substansi demokrasi sudah dikenal oleh Islam, akan tetapi rinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia. Lantas pertanyaannya adalah apakah substansi dari demokrasi itu sendiri?. Ia menjawab bahwa substansi demokrasi terlepas dari berbagai definisi istilah-istilah akademis adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Dan hal ini tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang Dawam Rahardjo, “Syura,” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989, 34. Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terj. Kathur Suhardi Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997, 184. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika me-nyimpang. Alasan lain diterimanya konsep demokrasi dalam Islam menurutnya karena demokrasi mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya adalah demokrasi telah menuntun ke beberapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran. Meski-pun begitu, sistem demokrasi juga tak bisa dilepaskan dari kecacatan dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tak lepas dari kekurangan. Ia menganjurkan bahwa tidak ada salahnya bagi kita untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia. Karena itu, tak ada salahnya bagi kita untuk me-ngambil sistem demokrasi, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan shu>ra>,menghormati hak-hak manusia, menghadang langkah para tiran di muka bumi menarik dari pemikiran Yusuf Al-Qardhawy ini di dalam memperkuat argumentasinya adalah dengan memakai kaidah hukum “Apabila yang wajib tidak bisa mencapai sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib”. Dari sinilah kita bisa mengambil tatacara demokrasi dan kandungan-kandungannya yang sesuai dengan diri kita dan kita bisa menyaring dan membenahinya. Jika kita bandingkan pendapat Yusuf Al-Qardhawy di atas dengan pendapat Taqi-yuddin Al-Nabhani sangatlah bertolak belakang. Taqiyuddin Al-Nabhani mengatakan jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya, jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini menurutnya Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 183. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 192-193. kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Pernyataan senada pun dikuman-dangkan oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhu>m Al-’Adalah Al-Ijtima’iyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}iryang menyatakan penolakannya atas penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, teokrasi, atau teo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambi-valensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif dua pendapat di atas yang bertolak belakang, nampaknya keduanya di dalam memandang demokrasi berawal dari persepsi yang berbeda. Yusuf Al-Qardhawy memahami demokrasi dari sisi substansi yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Sedangkan Taqiyuddin Al-Nabhani dan Ihsan Sammarah memandang demokrasi bukan dari pesan yang dibawanya melainkan dari sejarah ke-munculan istilah itu sendiri yakni dari Barat yang tentunya berbeda dengan Islam. Membicarakan tentang apakah konsep demokrasi sesuai atau malah bertentangan dengan Islam memang tidak mudah. Karena bagaimanapun, konsep ini bermula dari Barat yang tentunya mempunyai latar belakang alasan kemunculannya tersendiri. Meskipun begitu, tidak sedikit para ilmuwan Islam yang memandang bahwa konsep demokrasi sesuai dengan konsep Islam. Berbagai istilah yang dikenal dalam Islam kerapkali disama-samakan atau disepadankan dengan pengertian demokrasi, seperti keadilan adl, persamaan musa>wah, musyawarah shu>ra>. Meskipun begitu, tidak sedikit ilmuwan Muslim menolak penyamaan antara demokrasi dengan beberapa istilah di atas dengan alasan bahwa Muslim Taqiyuddin Al-Nabh}ani, Niz}am Al-Isla>m, 2001, 85-86. Ih}sa>n Sammarah, Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}irBairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991, 10-11. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 tidak dibolehkan untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang dinegosiasikan terhadap segala sesuatu yang dipercaya ber-tentangan dengan hukum Allah dan hal ini berbeda dengan demokrasi, apapun boleh dinegosiasikan. Melihat dari kenyataan di atas, maka alangkah baiknya jika kita sedikit berhati-hati ketika membicarakan kaitan antara demokrasi dengan Islam. Untuk memperjelas uraian dua istilah di atas, penulis terlebih dahulu menguraikan istilah shu>ra>dalam Alquran. Kata shu>ra> yang berasal dari kata kerja “shawara-yushawiru” secara etimologis be-rarti menjelaskan, menyatakan atau mengaju-kan dan mengambil sesuatu. Bentuk lain yang berasal dari kata kerja “shawara” adalah ashara memberi isyarat, “tashawara” be-runding, saling bertukar pendapat, “shawir” meminta pendapat, dan “mustashir” me-minta pendapat orang lain. Dari istilah-istilah di atas dapat dimengerti bahwa shu>ra>adalah saling menjelaskan dan merundingkan pen-dapat atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Jika merujuk pada definisi istilah yang tertera dalam kamus “Lisa>n al-Arab” maka kata shu>ra>yang berasal dari kata “sha-w-r” secara etimilogis berarti mengeluarkan madu dari sarang definisi ini, Quraish Shihab memberikann definisi shu>ra>dengan segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain untuk memperoleh kebaikan. Menurutnya hal tersebut semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi shu>ra>sendiri sebenarnya sudah dikenal dan dipraktekkan bangsa Arab pada masa pra-Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa shu>ra>merupakan tuntutan abadi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Hanya saja Alquran merubah shu>ra>dari sebuah institusi suku yang berlandaskan pada hubungan darah menjadi institusi komunitas yang menekankan prinsip Ibn Manzu>r, Lisa>nul ’Arab, Jilid 4 Beirut Da>r al-Shadr, 1968, 434. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Bandung Mizan, 1996, 469. hubungan iman. Tesis Fazlur Rahman ini mendapatkan argumentasi pembenaran jika merujuk ungkapan Muhammad Yusuf Musa yang mengatakan bahwa masyarakat Arab pemuka Arab kalau mereka tidak diajak untuk bermusyawarah dalam urusan mereka, mereka akan kecewa dan berkecil hati. Hal ini semata-mata dilakukan dalam rangka mem-pererat hungan darah dengan mereka dan menghilangkan rasa kecewa di kalangan merujuk pada penjelasan Alquran, maka kata shu>ra>dapat dijumpai dalam tiga ayat. Pertama Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyu-suan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita keseng-saraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berke-wajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikann pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” QS al-Baqarah 233 Dalam ayat ini diuraikan bagaimana antara suami dan istri diharuskan untuk bermu-syawarah ketika mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak termasuk di dalamnya menyapih anaknya sebelum berumur dua tahun. Kedua Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka men-Muhammad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Jakarta LP3ES, 1985, 49-50. Muhammad Yusuf Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi> al-Isla>m Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 jauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulat-kan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS Ali-Imran 159 Asba>b al-nuzu>l ayat ini ketika terjadi perang Uhud yang membawa kekalahan bagi umat Islam, pada waktu itu, Nabi sendiri mengalami luka-luka. Atas kejadian itu, maka turunlah ayat ini dalam rangka memberi pelajaran kepada Nabi dan seluruh umat Islam agar selalu melakukan musyawarah dalam memutuskan sesuatu yang bersangkutan bagi kemaslahatan umat. Ketiga Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan men-dirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. QS al-Shu>ra 42 38 Ayat ini Allah memberikann uraian tentang salah satu ciri seorang mukmin yaitu mendirikan sholat dengan baik dan benar, menafkahkan rizki dengan amanah dan ia selalu bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. Ketiga ayat di atas menjelaskan bahwa Islam sangat menganjurkan umat Islam untuk selalu mengedepankan musyawarah terlebih dahulu sebelum memutuskan sebuah perkara. Terbukti dengan dimasukkannya musyawarah sebagai ciri orang yang beriman sebagaimana dalam surat al-Shura ayat 38 di atas. Meskipun Alquran sangat mementingkan musyawarah, akan tetapi Allâh tidak me-nguraikan bagaimana prosedur, bentuk atau tata cara bermusyawarah. Hal ini secara tidak langsung memberikan gambaran kepada manusia bahwa Alquran bukanlah seperti karya ilmiah lainnya yang harus ditulis dan diuraikan dengan sangat mendetail agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Alquran adalah kitab suci petunjuk umat Islam yang bersifat global. Keglobalan tersebut memberikan kesempatan kepada manusia untuk memikir-kan bagaimana prosedur dan mekanisme pe-nyelesaiannya yang sesuai dengan kebu-tuhannya termasuk di dalamnya masalah shu>ra. Penafsiran lain mengapa Alquran tidak memberikan penjelasan secara mendetail tentang shu>ra karena Alquran ternyata menganut prinsip bahwa untuk permasalahan-permasalahan yang sifatnya bisa berkembang sesuai dengan kondisi, budaya, politik, dan ekonomi, maka Alquran tidak mengu-raikannya secara final, akan tetapi hanya menetapkan garis-garis besarnya saja. Langkah ini bertujuan memberikan kesem-patan kepada manusia untuk memikirkan penyelesaiannya secara baik dan sesuai dengan kebutuhannya sejauh tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan yang jelas dilarang dalam Alquran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian”, atau sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad “Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku rujukannya, dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahui”. Uraian di atas memunculkan permasalahan dalam hal apa sajakah yang harus dimusyawarahkan sebelum mengambil keputusan? Dalam menjawab permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian di antara mereka seperti Muqatil, Ibn Abi Rabi’ mengatakan bahwa permasalahan-permasala-han yang harus dimusyawarahkan hanyalah yang berkaitan dengan strategi berperang sesuai dengan penjelasan surat Ali Imran ayat 159 di atas. Kelompok ini nampaknya menafsirkan ayat di atas secara literalis atau harfiah sehingga kejadian atau asba>b al-nuzu>layat di atas menjadi patokan bahwa per-masalahan yang dibolehkan untuk dimu-syawarahkan hanya berkaitan dengan strategi berperang saja tidak pada yang lain. Berbeda dengan pendapat-pendapat ulama di atas, ulama lain seperti Hasan Basri, al-Dahaq mengatakan bahwa permasalahan-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 permasalahan yang harus dimusyawarahkan hanya khusus terkait pada masalah yang berkaitan dengan urusan duniawi saja bukan dalam permasalahan agama. Alasan mereka adalah bahwa sebenarnya Nabi tidaklah membutuhkan jawaban-jawaban dari saha-batnya, akan tetapi bermaksud mendidik umatnya betapa musyawarah ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial politik umat Islam. Pendapat lain, pendapat ulama-ulama modern, yang menga-takan bahwa musyawarah tidaklah dilakukan hanya untuk permasalahan duniawi saja, akan tetapi juga untuk permasalahan keagamaan. Untuk itulah menurut kelompok ini, musya-warah dalam segi apa pun harus dilakukan baik urusan duniawi maupun agama. Kema-juan teknologi, agama pun akan terkena imbas dan tentunya membutuhkan solusi yang tidak bisa ditunda-tunda. Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang lebih masuk akal dan realistis adalah pendapat yang terakhir, yang mengemukakan argumentasi jika perkembangan dan perubahan masyarakat tidak di antisipasi untuk diberikan solusinya secara bersama-sama, maka tidak tertutup kemungkinan umat Islam dengan tidak mem-butuhkan waktu yang lama akan tertinggal jauh. Konsep di atas jika dibandingkan dengan pengertian teori demokrasi sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam demokrasi apa pun boleh dinegosiasikan; dalam demokrasi, semua individu atau kelom-pok bebas melakukan perbuatan, maka kelom-pok yang ketiga di atas secara otomatis mene-rima dan menganggap bahwa pesan-pesan demokrasi sesuai dengan Islam. Meskipun begitu, menurut hemat penulis, bagaimanapun tidak semua permasalahan agama harus dimusyawarahkan. Ada beberapa hal yang tidak layak atau dilarang untuk dimusyawarahkan misalnya dalam hal keimanan, ibadah, seperti tentang pembagian jumlah rakaat shalat dalam setiap waktunya tidak perlu dimusyawarahkan atau ditukar-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. tukar sesuai dengan kehendak hatinya karena hal ini sudah baku atau qat}’i. Permasalahan lain yang muncul jika musyawarah dikaitkan dengan negara adalah siapa yang berhak untuk melaksanakan musyawarah dan menentukan kebijakan pemerintah. Quraish Shihab mengutip sebuah hadits Wahai Ali, jangan bermusyawarahah dengan orang penakut, karena dia memper-sempit jalan keluar, jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu, juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan mem-perindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada prasangka buruk kepada di atas memberikan pemahaman bahwa untuk melakukan musyawarah sebaik-nya tidak dilakukan secara sembarang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih siapa yang layak diajak bermusyawarah. Hadis di atas juga mem-berikan petunjuk bahwa tidak semua anggota masyarakat harus dilibatkan dalam proses musyawarah. Sebagai contoh apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Nabi ketika melakukan pemilihan siapa yang layak menjadi pengganti Nabi setelah Nabi meninggal. Pada saat itu tidak semua sahabat Nabi diharuskan untuk berkumpul. Hanya sebagian saja yakni sahabat Nabi yang mempunyai kredibilitas tinggi yang diperkenankan hadir. Di samping itu, dili-batkan juga beberapa utusan kepala dari masing-masing suku. Ini membuktikan bahwa musyawarah tidak dilakukan terhadap semua anggota masyarakat. Hanya mereka yang dianggap layak yang berhak untuk mengikuti musyawarah. Quraish Shihab ketika mengomentari surat Ali Imran 159 mengatakan bahwa sebenarnya ayat ini telah memberikan arahan kepada kita perihal sikap yang harus diperhatikan ketika hendak bermusyawarah. Ia mengatakan, sedikitnya ada tiga sikap yang harus Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 480. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 diperhatikan pertama, adalah sikap lemah lembut. Dalam bermusyawarahah apabila sebagai pemimpin, haruslah ia menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala. Karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan meninggalkannya. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru sebagaimana kalimat ayat tersebut fa’fu ’anhum maafkan mereka. Ketiga, adalah hendaknya selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, dengan cara memohon ampunan Ilahi sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat tersebut dengan kalimat “wa istaghfir lahum”.Jika merujuk pada penjelasan literatur klasik, dijelaskan bahwa mereka yang ditunjuk untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam, disebut oleh Al-Mawardi dengan Ahl al-H{all wa al-Aqdorang yang berhak melepas dan mengikat. Ahl al-H{all wa al-Aqdadalah sekelompok orang yang mempunyai kualitas tinggi dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, dan dijadikan tempat untuk bertanya dan sekaligus merekalah yang ditugasi untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam baik itu dalam permasalahan yang dihadapi negara atau pun rakyatnya. Atau sebagaimana ungkapan Muhammad Abduh yang mengatakan Ahl al-H{all wa al-Aqdsebagai orang yang menjadi rujukan masya-rakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun yang membedakan antara shu>ra dan demokrasi. Sisi lain perbedaan antara shu>ra dan demokrasi adalah dalam hal pengambilan keputusan. Menurut Quraish Shihab sedikitnya manusia mengenal tiga cara dalam mengambil keputusan pertama, keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. Kedua, keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas. Ketiga, keputusan yang ditetapkan Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 473-475. Dikutip oleh Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 481. berdasarkan pandangan mayoritas. Dari tiga model keputusan ini maka Quraish mengatakan bahwa konsep shu>radalam Islam tidak tepat jika mengambil model yang pertama di atas. Tidak hanya itu, model kedua pun menurutnya tak pantas bagi konsep shu>ra. Ia berkata jika suara minoritas menjadi pilihan, apa keistimewaan pendapat minoritas sehingga menjadi pilihan? Sebagai jawaban-nya ia merasa cocok dengan model ketiga, akan tetapi hal itu tidaklah mutlak. Untuk memperkuatnya, ia mengutip ungkapan Ahmad Kamal Abu al-Majid yang menga-takan bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musya-warah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kata begitu, menurut penulis, dalam konsep shu>ra proses pengambilan keputusan tidak mesti ditentukan dengan suara mayoritas. Ada kalanya suara minoritas justru yang dipilih, hal ini disebabkan mungkin suara minoritas yang lebih tepat untuk dipilih. Kondisi ini pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. Pada waktu itu Khalifah pernah mengabaikan pendapat suara mayoritas dalam hal sikap terhadap para pembangkang pembayar zakat. Pada saat itu sebagian mayoritas sahabat yang dimotori oleh Umar Ibn Khatab berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat tetaplah dikatakan Muslim dan tidak boleh diperangi. Akan tetapi Khalifah Abu Bakar pada waktu itu tetap memilih untuk memerangi mereka yang enggan membayar zakat sekaligus meno-lak mereka yang menghendaki untuk tidak memeranginya sebagaimana dimotori oleh Umar. Pendapat Abu Bakar pun kemudian disetujui oleh forum dan realisasi kebijakan Khalifah pun berjalan dalam sejarah. Kondisi penolakan atas suara mayoritas pun pernah dilakukan pada masa Khalifah Umar. Saat itu permasalahan yang menjadi agenda musyawarah adalah perihal harta rampasan perang ghanimah berupa tanah. Pada saat sebagian sahabat menghendaki agar Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 482-483. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 harta yang dimiliki oleh mereka yang kalah berperang dirampas dan kemudian dibagikan kepada mereka yang mengikuti peperangan. Alasan mereka karena cara seperti ini diajarkan oleh Nabi dan juga dipraktekkan pada masa Khalifah Abu Bakar. Kebijakan ini kemudian ditentang oleh Khalifah Umar. Umar dan beberapa sahabat minoritas menghendaki agar harta rampasan itu tidak disita, akan tetapi dikembalikan lagi kepada mereka sebagai pemilik sah dan umat Islam hanya boleh memungut pajaknya saja. Dan pada akhirnya kebijakan Umar pun disetujui oleh semua sahabat dan hal itu terrealisasi juga dalam sejarah. Dari adanya beberapa pendapat di atas, yang terpenting dalam konsep shu>raadalah seberapa besar nilai kebaikan dari pendapat-pendapat tersebut—baik itu dari minoritas maupun mayoritas. Jika ternyata pendapat minoritas yang lebih banyak manfaatnya, maka ia pun menjadi pilihan, begitu sebalik-nya. Inilah menurut penulis di antara sisi perbedaan lainnya dengan demokrasi yang mensyaratkan bahwa hanya suara mayoritaslah yang menjadi pilihan. Begitu pentingnya konsep shu>radalam sebuah negara membuat konsep ini dijadikan oleh Jumhur Ulama sebagai syarat bagi seseorang yang akan diangkat menjadi seorang pemimpin negara. Menurut Jumhur Ulama, proses pemilihan seorang pemimpin negara haruslah dengan jalan musyawarah. Lalu pertanyaannya bagaimana mekanisme menja-lankan musyawarah dalam memilih pemimpin negara dalam dunia realitas. Dalam hal ini para ulama menentukan tiga cara;Pertama, pemilihan secara bebas melalui musyawarah tanpa pencalonan lebih dahulu oleh seseorang. Menurut para ulama, hal ini pernah dicontohkan ketika pemilihan Abu Bakar. Ia dipilih secara bebas tanpa dipersiapkan oleh Rasulullah Saw untuk menjadi penggantinya. Kedua, Khalifah mempersiapkan putra mahkota sebagai penggantinya jika antara keduanya tidak ada hubungan keluarga. Cara Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib Jakarta Logos, 1996, 95-96. ini pernah dicontohkan oleh Abu Bakar ketika memilih Umar. Pengangkatan putra mahkota ini sifatnya pengajuan calon saja dari Abu Bakar dan bukan suatu kemestian. Ketiga, mempersiapkan salah seorang dari tiga orang atau lebih anggota masyarakat yang dipandang terbaik di dalam masyarakat. Dan cara yang ketiga ini nampaknya menjadi pilihan setiap negara di dalam memilih pemimpinnya. 3. Hubungan Islam dan Demokrasi Kasus Indonesia Setelah di atas kita memfokuskan pada kajian seputar makna dari demokrasi dan syura, dan beberapa tipologi pandangan intelektual Muslim terhadap isu demokrasi, pada bagian ini akan coba disajikan potret penerapan demokrasi dengan mengambil sampel kasus di Indonesia. Pengambilan kasus Indonesia dalam hal ini sangat menarik karena dua alasan; pertama, Indonesia dilihat dari kuantitas jumlah adalah penganut agama Islam mayoritas di dunia dibandingkan negara-negara berpenduduk Islam lainnya. Kedua, dalam kasus penerapan demokrasi, Indonesia adalah negara paling berhasil dalam menerapkan isu memotret kasus Indonesia ini, penulis berdasar pada penemuan Saiful Mujani melalui riset disertasinya yang kemudian dibukukannya dengan judul “Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demo-krasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”.Buku yang ditulis oleh Saiful Mujani ini adalah sebuah bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam atau masyarakat Islam tak sesuai dengan demokrasi atau tak akan bisa mene-rima konsep penerapan demokrasi. Saiful Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Buku ini pada awalnya adalah sebuah disertasi untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu politik dari Departemen Ilmu Politik, di The Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Ada banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa Islam cenderung akan menolak istilah dan penerapan demokrasi. Di antaranya adalah Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa bila orang Islam berusaha memper-kenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme serupa pun dikumandangkan oleh Elie Kedourie. Ia menyatakan bahwa ajaran, norma, kecenderungan, pengalaman keseharian orang Islam telah membentuk pandangan politik kaum Muslimin yang khas dan jauh dari modern. Menurutnya peradaban Islam bersifat unik; kaum Muslim bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup terhadap dunia luar. Peradaban seperti ini menurutnya akan menghambat kaum Muslim untuk mempelajari dan menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban senada pun diung-kapkan oleh Bernard pandangan di atas yang sedikit menyentil Islam terbantahkan jika kita berkaca pada kasus Indonesia. Berdasarkan riset Saiful Mujani ditemukan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, ternyata masyarakat Islam Indonesia cukup menarik dengan penerapan demokrasinya. Meskipun buku ini tidak bisa secara total menggugurkan teori Elie Kedourie, Bernard Lewis, dan Samuel P Huntington karena masih banyak negara-negara mayoritas muslim lainnya yang cenderung membenarkan pandangan tokoh di atas, akan tetapi minimal kehadiran buku ini bisa sedikit dijadikan cacatan bahwa ternyata Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations Remaking of The World Order New York Simon and Schuster, 1997, 112. Elie Kedourie, Democracy and Arab Political Culture Portland Frank Cass, 1994. Bernard Lewis, What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response Oxford Oxford University Press, 2002, 100. ada juga negara yang mayoritas muslim men-dukung secara baik penerapan demokrasi, dan negara itu adalah Indonesia. Jika kita membaca buku ini, istilah demo-krasi dipahami melalui dua cara; sebagai sebuah kompleks budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah konsep budaya politik, demokrasi mencakup unsur-unsur saling percaya antar sesama warga interpersonal trust, jaringan keterlibatan kewargaan networks of civic engagement, toleransi, keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap kinerja demokrasi, dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, dan dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni negara-bangsa nation-state. Sebagai partisipasi politik, demokrasi merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela—mulai dari voting hingga protes—oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan yang ditulis oleh saudara Saeful Mujani ini mencoba membuktikan apakah Islam mempunyai hubungan negatif dengan demokrasi. Ada sekitar sepuluh hipotesis yang akan dibuktikan dalam buku ini; Pertama, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya kepada orang lain pada umumnya”. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, hipotesis tersebut tidak menemukan pembuktiannya. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap saling percaya pada orang lain pada “semakin Islami seorang Muslim, ia akan semakin cenderung tidak percaya kepada non-Muslim”. Dalam kasus kaum Muslim Indonesia hipotesis ini tertolak. Tidak ada satu pun unsur Islam, kecuali “Islamisme” yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan faktor kepercayaan terhadap non-Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 313. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 117-149. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Muslim. Baik didefinisikan sebagai keper-cayaan terhadap orang lain secara umum maupun terhadap non-Muslim. Islam secara keseluruhan tidak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kepercayaan antar sesama warga. Rendahnya kepercayaan antar sesama warga di kalangan Muslim Indonesia tidak memiliki korelasi signifikan dengan “semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin rendah pula keterikatan-nya dalam aktivitas kewargaan yang bersifat sekular”. Hipotesis ini untuk Indonesia tidak meyakinkan. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan jaringan keterlibatan dalam perkum-pulan sekular. Sebaliknya, hampir semua unsur Islam memiliki korelasi positif, signi-fikan, dan konsisten dengan jaringan keter-libatan tersebut. Karena itu untuk kasus Indonesia, Islam ternyata memperkuat, bukan memperlemah, keterlibatan kaum Muslim dalam perkumpulan kewargaan yang bersifat “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap orang Kristen”. Hipotesis ini jika dilihat secara empirik di lapangan terlihat mempunyai pembuktiannya. Respon bagi kelompok Islamis memiliki korelasi negatif, signifikan dan konsisten dengan sikap toleran terhadap orang Kristen. Akan tetapi untuk kasus ini, Saeful Mujani menyatakan bahwa untuk kasus kaum Muslim Indonesia, Islamisme tidak identik dengan Islam. Karena itu, toleransi dalam hal ini lebih baik diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai, dan bukan diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok tertentu seperti Kristen. Karena dengan pengertian toleransi politik seperti ini, lebih sensitif terhadap persoalan konsolidasi demokrasi. Karena itu klaim bahwa Islam memiliki korelasi negatif Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 316. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 153-186. dengan konsolidasi demokrasi, karenanya, harus diukur dengan melihat sejauh mana Islam memiliki korelasi negatif dengan toleransi politik secara umum tersebut. Karena itu hipotesisnya adalah; “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukainya”. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini tidak terbukti. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai. Sebaliknya, jaringan keterlibatan dalam per-kumpulan Islam memperlihatkan korelasi yang relatif signifikan dan positif dengan toleransi politik secara “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak terlibat dalam politik”. Untuk kasus ini, Saeful Mujani melihat dari keterilabatn umat Islam dalam mengikuti berita politik; baik melalui media massa, diskusi politik dan perasaan penting-nya menentukan sikap dalam proses politik. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini ternyata juga tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan unsur keterlibatan politik. Sebaliknya, beberapa unsur Islam, seperti ibadah, memiliki korelasi yang signifikan, langsung, konsisten, dan positif dengan keterlibatan politik. Kesim-pulan akhir, justru Islam membantu me-ngintegrasikan para penganutnya dengan sistem demokrasi melalui keterlibatan “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya pada institusi politik”. Dari hasil survai ditemukan bahwa ternyata bahwa tak satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan lemahnya tingkat kepercayaan pada institusi politik. Sebaliknya, Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 317. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 189-217. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 ada sejumlah indikasi yang menegaskan bahwa Islam memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan kepercayaan pada institusi ini. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa dari sudut pandang stabilitas demokrasi, ternyata tidak ada indikasi bahwa Islam dapat mengakibatkan destabilitasi pemerintahan demokrasi. Justru sebaliknya Islam memiliki kontribusi “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak puas terhadap kinerja demokrasi”. Dari hasil survai ditemu-kan ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan kepuasan terhadap kinerja demokrasi. Ternyata dari sini dapat disimpulkan bahwa tingkat kesalehan kaum Muslim Indonesia ternyata tidak terkait dengan evaluasi mereka terhadap kinerja demokrasi sebuah “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendukung prinsip-prinsip demokrasi”. Untuk kasus Indonesia, ternyata hipotesis ini tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan Saeful Mujani menemukan bahwa sikap kalangan Islamis pun yang diduga kuat memiliki korelasi negatif, ternyata tidak terbukti. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Islam ternyata mempunyai dan memi-liki potensi untuk memperkuat demokrasi, seperti tentang ijtiha>d, ijma>’, ikhtila>f, dan shu> Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendu-kung negara-bangsa”. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ternyata hipotesis ini Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 319. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 221-250. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 320. tidak terbukti secara empiris karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap negara-bangsa Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil partisipasi-nya dalam politik, kecuali jika objek dari partisipasinya itu bersifat keislaman”.Dari hasil pengamatan ternyata hipotesis itu tidak terbukti untuk kasus kaum Muslim Indonesia. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan partisipasi politik, terlepas dari apa pun objek partisipasinya, entah bersifat keagamaan atau pun non-keagamaan. Kesepuluh,“semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil kemung-kinannya untuk menjadi warga yang setia, dan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi warga yang teralienasi, naif, dan apatis”. Dari hasil survai, hipotesis ini ternyata tidak terbukti. Untuk kasus umat Islam Indonesia, warga negara yang setia dan teralienasi relatif lebih aktif dalam semua bentuk partisipasi politik—yang terlembagakan dan yang tidak terlembagakan, yang konvensional dan yang non-konvensional—dibanding warga negara yang naif dan apatis. Lebih lanjut ia menemukan bahwa dikalangan warga yang setia, tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dengan statusnya sebagai warga yang penelitian di atas, Saeful Mujani menyimpulkan bahwa ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan satu unsur demokrasi. Keseluruhan proposisi bahwa Islam memiliki korelasi negatif dengan demokrasi jika mengacu pada hasil survai kaum Muslim Indonesia terbantahkan. Berdasarkan data ini, maka pendapat mereka yang menyatakan bahwa Islam mempunyai Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 321. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 253-292. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 323. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 korelasi negatif dengan demokrasi dengan mengacu pada pandangan kaum Muslim Indonesia terbantah atau secara otomatis gugur. C. SIMPULAN Dari uraian di atas, menurut hemat penulis, bahwa antara demokrasi dan shu>rabanyak sekali titik persamaannya meskipun juga ada beberapa celah perbedaannya. Lalu mengapa kita mesti takut menerima konsep demokrasi? Menurut hemat penulis, menolak demokrasi dengan alasan bahwa istilah ini datang dari Barat dan syarat akan muatan misi dan demo-krasi juga dianggap lebih mengusung sisi mayoritas dan meninggalkan minoritas, adalah pendapat yang keliru tidak objektif. Bukan-kah kita telah diajarkan oleh Nabi kita bahwa mencari hikmah boleh di mana saja. Dan hikmah itu mungkin saja datang dari negeri Barat—tidak selamanya dari Timur negara bermayoritas muslim. Sudahkah kita me-nyadari bahwa terkadang kita juga secara tidak disadari bersikap ala demokrasi, seperti dalam masalah mencari argumentasi dalam bidang fikih hukum Islam misalnya. Kita selalu mengatakan bahwa ”hendaklah dalam mencari dan mengikuti sebuah ketentuan hukum selalu berpatokan kepada jumhur ulama atau ma-yoritas pendapat ulama sebagai pegangan”. Jika mereka bersikap seperti ini, berarti mereka juga yang menolak demokrasi secara tidak disadari menjalankan ”ajaran” demo-krasi. Menurut hemat penulis, apakah pendapat ulama yang minoritas itu salah, tentunya tidak atau belum tentu bukan. Karena itu, pemikiran yang bijak haruslah menjadi acuan dan pegangan, baik dalam melihat permasalahan demokrasi atau pun yang kasus umat Islam Indonesia berdasarkan penelitian Saeful Mujani dalam bukunya “Muslim Demo-krat” ternyata umat Islam Indonesia begitu menerima dan berhubungan positif dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap ”mahluk asing” dan bertentangan dengan ajaran Islam. Wallahu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi. Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997. Al-Syawi, Taufiq. Syura Bukan Demokrasi. Diterjemahkan oleh Djamaluddin ZS. Jakarta Gema Insani Press, 1997. Al-Nabh}ani, Taqiyuddin. Niz}am Al-Isla>m. 2001. Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta Bulan Bintang, 1990. Esposito, John L., dan James P. Piscatori. “Islam and Democracy.” Middle East Journal VL, no. III 1991. ———. “Islam dan Demokrasi.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Janu, no. 4 1994. Esposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, 1999. Ghafar, Afan. “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru.” Di Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, diedit oleh Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1994. Heikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, 1993. Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations Remaking of The World Order. New York Simon and Schuster, 1997. Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani. Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofar. Bandung Mizan, 1996. Huwaydi, Fahmi. Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah. Kairo Markaz al-Ahram, 1993. Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis. Jakarta Gaya Media Pratama, 2002. Kedourie, Elie. Democracy and Arab Political Culture. Portland Frank Cass, 1994. Lewis, Bernard. What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response. Oxford Oxford University Press, 2002. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Maarif, Muhammad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta LP3ES, 1985. Magnis-Suseno, Franz. “Demokrasi Tantangan Universal.” Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1996. Manzu>r, Ibn. Lisa>nul ’Arab. Jilid 4. Beirut Da>r al-Shadr, 1968. Memon, Ali Nawaz. “Membincang Demokrasi.” Di Islam Liberalisme Demokrasi, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry. Jakarta Paramadina, 2002. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru,. Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Musa, Muhammad Yusuf. Niz}a>m al-H{ukm fi>>> al-Isla>m. Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Rahardjo, Dawam. “Syura.” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989. Sammarah, Ih}sa>n. Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}ir. Bairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991. Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Alquran. Bandung Mizan, 1996. Sihbudi, Riza. “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994. ———. “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah.” Di Agama, Demokrasi, dan keadilan, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz. Jakarta Gramedia, 1993. Sulaiman, Sadek J. “Demokrasi dan Shura.” Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, 1996. ... Furthermore, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world. It is a model for other countries that Indonesia is a country with a Muslim majority that can maintain peace and democracy, while Indonesia is not a country based on Islamic law 1. Even when referring to Hillary Clinton's statement "Learn Islam to Indonesia", it shows that Indonesia can be an example of how the existence of the majority of Muslims can maintain the pluralism of peace of life as a nation and state, when compared to other countries that have a majority Muslim population and even countries based on Islamic law 2. ...Nahdliyatul Islamiyah Muhammad Turhan YaniThis study aims to determine the implementation of democracy in the Student Activity Unit of the Islamic Spiritual Activity Unit, State University of Surabaya. In this organization not only examines the religion of Islam but also applies the values of democracy applied in the Indonesian state. Democracy implies the meaning of power which is essentially the people who hold the highest mandate in democracy. The essence of democracy is of the people, by the people and for the people. Judging from the meaning of the word democracy, it is clear that the people play an important role. However, in practice it can be understood and implemented differently, even development is very uncontrolled. In the UKKI UNESA organization, it should be in line with the values that exist in democracy and the creation of freedom and deliberation to reach consensus. The research method used is qualitative. Data collection techniques used are interviews, observation, and documentation. Informants in this study were the general chairman, functionaries, and members. The conclusion of this study is that the implementation of democratic values in the organization of the Islamic Spiritual Activity Unit is in line with the principles of Pancasila democratic values which refers to Cipto's theory in journal Aulawi, A., & Srinawati 2019, although it is not perfect yet. The results of this study are expected to be useful and contribute to balancing thoughts on the application of democratic values and can add to the treasures of thoughts for writers and readers in general regarding democratic values. Keyword Democracy, Organization, DiscussionMuhamad Ferdy FirmansyahIndonesian democracy from every period of government will continue to experience development towards maturity. In the life of the state, corruption cannot be separated. The role of political institutions and democratic maturity is very large in eradicating corruption, collusion and nepotism. This study uses secondary data, with used the Indonesian Democracy Index IDI and the Anti-Corruption Perspectives Index Indeks Persepsi Anti-Korupsi/IPEK which is sourced from the Indonesian Central Statistics Agency. Data processing using multiple linear regression statistical analysis. The Indonesian Democracy Index consists of variables of the role of the DPRD, the role of political parties, the role of the local government bureaucracy and the role of an independent judiciary. It was found that the role of DPRD has a significant positive effect on IPAK, the role of political parties has a significant negative effect on IPAK, the role of local government bureaucracy is significant positive and the role of an independent court is not significantly negative for IPAK. It is hoped that to improve the social community that is aware on anti-corruption, it is necessary to increase the role of the DPRD and the role of the local government bureaucracy in accordance with their duties and functions in the government together to eradicate corruption and form a new culture oriented towards the prevention and eradication of FajarThis studyattempts to analysethe relationship between Islam and democracy objectively with logical rational arguments. It aims to clarify the differences between Islam and democracy in terms of values and concepts, in addition to explaining the reasons for the rejection of some Muslims against democracy and the arguments underlying their rejection. Then, itattempts to draw a theoretical relationship between Islam and democracy by asking critical questions, logical assumptions, and arguments that rely on the empirical practice of implementing democracy in Indonesia. Islam and democracy were born from two different ontological areas. Islam as a religion is believed to be sacred and absolute truth because ontologically its teachings come from God. While the democratic political system was born from the historical trajectory of human cultural development, it means that democracy is profane secular, and the truth is contextual perspective of the status quo of Muslim elite power politics. The concept of democracy in terms of genealogy, values, and orientation is not entirely the same as Islamic teachings, but it is not denied that Islamic teachings are in many respects substantially in line with the concept of democracy. Thus, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, so it is fitting for Indonesian Muslims to become enforcers of democracy based on human religious values. That is a model of democracy that not only provides a place for the growth of people's beliefs or religiosity, but also provides space for the realization of human rights. Therefore, democracy as a concept, in its implementation, of course, must be adapted to the context and culture of the local community, especially Islamic communities such as in Indonesia and in the Middle Rusdi MuhammaddiahRachid Ghannouchi merupakan salah satu tokoh politik Islam terkemuka di Tunisia. Berbagai ide dan gagasannya terangkum dalam Partai politik yang telah didirikannya yang berhaluan kepada nilai dan ajaran Islam yang diberi nama Partai en-Nahda. Belum lama ini, partai yang dipimpin oleh Rachid Ghannouchi tersebut telah mengumumkan fase baru dalam perpolitikannya yaitu dengan mengusung konsep Islam Demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah yang sejatinya belum dikenal di negara tersebut dan diklaim merupakan bagian dari ideologi partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tulisan ini bertujuan untuk melihat langkah yang telah diambil oleh Ghannouchi melalui konsep Islam demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah, bagi umat Islam ide non-konvensional Ghannouchi ini dipandang sebagai sesuatu yang baru dan tepat untuk zaman demokrasi modern, khususnya dari epistimologi Islam Politik’ konvensional ke paradigma yang lebih ekslusif dan sesuai dengan realita perpolitikan modern. Hanif Aidhil AlwanaLaw is the result of Fuqaha's ijtihad regarding an act of mukallaf, in its understanding Islamic law is derived from the al-Quran and Sunnah. Although the existence of the al-Qur`an and the Sunnah is not in doubt, the understanding of law from these sources often experiences ikhtilaf differences of opinion, besides this the risk of causing divisions in society, these problems are influenced by schools of legal thought. This paper will describe the history of these schools of thought and their relevance in establishing law. The method used was descriptive analysis, with a qualitative approach based on the content content analysis of previous writings. In this paper, it is found that the difference in legal opinion is influenced by the way of thinking of the mujtahid which is divided into mutakallimin schools which are identical to understanding the legal text; fuqaha with the style of rules and legal reasons extracted from the law-making text syari` or also termed a contextual style; and a combination that seeks to combine the two types of legal understanding, this gives birth to different legal features. This is the scientific treasure of Islamic law which must be developed in the future to always exist in answering legal problems in the Ulfah Ridho Al-HamdiABSTRAK. Penelitian ini membahas tentang evaluasi Peraturan Daerah Perda Nomor 10 Tahun 2007 tentang ketertiban sosial di Kabupaten Banjar. Selain itu, studi ini ingin mengetahui faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dan kegagalan penerapan Perda ini. Secara metodologis, studi ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan wawancara mendalam. Untuk mengukur evaluasi Perda, studi ini enam indicator efektifitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan. Temuan studi ini menunjukkan, bahwa dari enam indikator, hanya satu indikator saja yang dianggap berhasil yaitu indikator perataan. Sementara itu, lima indikator lainnya bisa dipastikan tidak berhasil. Hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan studi ini, bahwa kebijakan tentang ketertiban sosial ini dapat dikategorikan gagal. Sejumlah faktor turut mempengaruhi kegagalan penerapan Perda ini yaitu efektifitas, kecukupan, dan perataan. Karena itu, kinerja pemerintah harus lebih serius lagi dalam menyelesaikan persoalan tersebut serta tidak pandang bulu dalam memberantas segala perilaku masyarakat yang bertentangan dengan ketertiban sosial sesuai Perda tersebut. Kata Kunci Evaluasi; Ketertiban Sosial; Peraturan Daerah Syariah; Kabupaten BanjarSyaiful BahriSome issues in various classical political fiqh literatures are irrelevant if applied in the current context. This paper discusses how important the reconstruction and renewal of several issues in classical political fiqh is adapted to the plural Indonesian context. In this study, the author uses the Maqasid al-Shariah theory and Ahmad ar-Raisuni’s thinking which specifically addresses political issues as the main frame of analysis. By conducting a library study, this study concludes that several issues in classical political fiqh are indeed irrelevant to the times, and therefore need to be updated and reviewed. In additions, this study also has resulted in a new construction of Indonesian political fiqh which formulated in four crucial issues democracy, state format, criteria for leaders in Indonesia, and application of Islamic Law Shariah.Beberapa isu dalam pelbagai literatur Fiqh Siyāsah klasik sudah tidak relevan jika diterapkan dalam konteks saat ini. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana pentingnya melakukan rekonstruksi dan pembaruan terhadap beberapa isu dalam Fiqh Siyāsah klasik disesuaikan dengan konteks Indonesia yang plural. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Maqāsid al-Shariah dan pemikiran Ahmad ar-Raisuni yang secara spesifik membahas persoalan politik siyāsah sebagai pisau analisis utamanya. Dengan melakukan studi kepustakaan, kajian ini menghasilkan kesimpulan bahwa beberapa isu dalam literatur Fiqh Siyāsah klasik memang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan sebab itu perlu dilakukan pembaruan dan tinjauan ulang. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan konstruksi baru Fikih Politik Indonesia yang dirumuskan dalam empat isu krusial demokrasi, bentuk Negara, kriteria pemimpin di Indonesia, dan penerapan syariat Islam. Toto SuhartoThe study of radicalism among students of State Islamic Institutes shows a significant increase within the recent decade. This article attempts to analyze the level of moderate understanding of the students of the State Islamic Institute IAIN Surakarta. The survey involves 100 students. The past educational background of each student has been deeply explored to figure out the basics of religious understanding they hold. The qualitative and quantitative designs were employed to measure the level of students" understanding of moderate Islam. This study finds that the students of IAIN Surakarta hold the moderate understanding of Islamic teachings. The number reaches 87%. The majority of moderate respondents are graduated from madrasah and pesantren. This is so because pesantren and madrasah, they graduated from, put a strong emphasis on cultivating moderate religious doctrines. This is different from that of general high school graduate students in which they learn the Islamic doctrines from Rohani Islam Rohis. It has been found that the Rohis commonly hold radical and intolerant religious doctrines. This is understandable since the Rohis tends to understand Islamic doctrines textually and scripturally; different from that of Islamic teachings promulgated by pesantren and madrasa. Mokhamad SukronFalsehood bidah becomes an interesting study for Moslem scholars especially on the matters of worship and ritual practices. The committee of tarjîh al-Qur’ân justifies falsehood by referring to H{adith used as the guide and method. The interpretative result toward the h}adith causes different perspective among Moslem scholars. There are three important points that will be elucidated in this article first what method uses MTA in conceiving h}adith in relation with falsehood, second how MTA perspective of bidah, and third is re-construction the h}adith bidah according to MTA. MTA explains that what is called bidah in prophet’s h}adith is bidah in the matter of religion worship that certainly misleading. Yet, the falsehood in relation with worldly matter for MTA must be given a space to branch out as long as it gives positive impact and push people creativity in general meaning. It is suitable with prophet’s h}adith said that “man sanna sunnah h}asanah..... man sanna sunnah sayyiah...”. In this condition, MTA indirectly admits the variant of the bidah. But the ordinary classification differs with the ulama’s classification either in terms of mutaqadimîn or muta’akhirîn, in general point of view, otherwise the classification is in contrary with the religious matters and worldly Tantangan UniversalFranz Magnis-SusenoMagnis-Suseno, Franz. "Demokrasi Tantangan Universal." Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta ParamadinaSadek J SulaimanSulaiman, Sadek J. "Demokrasi dan Shura." Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka FirdausMuhammad HeikalHuseinHeikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, di Negara-Negara MuslimJohn L EspositoJohn O DanVollEsposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 17Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran IslamRiza SihbudiSihbudi, Riza. " Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih. " Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994.Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan SunnahYusuf Al-QardhawyAl-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah. Xhm67zZ.
  • wcmb972zcc.pages.dev/381
  • wcmb972zcc.pages.dev/103
  • wcmb972zcc.pages.dev/321
  • wcmb972zcc.pages.dev/505
  • wcmb972zcc.pages.dev/21
  • wcmb972zcc.pages.dev/197
  • wcmb972zcc.pages.dev/191
  • wcmb972zcc.pages.dev/535
  • pandangan ulama tentang demokrasi